Hanya ada dua kemungkinan pegiat literasi di taman bacaan? Yaitu pegiat literasi yang optimis atau yang pesimis. Optimis karena selalu mampu melihat kesempatan di setiap kesulitan. Sebaliknya, pesimis karena selalu melihat kesulitan di setiap kesempatan. Maka orang-orang pesimis, sering kali semangatnya memudar. Hingga jadi sebab komitmen melemah, keyakinan berkurang. Ujungnya, mereka sebentar lagi atau pada waktunya akan menyerah.
Lima tahun lalu, saat saya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka perasaan pesimis pun sangat menghantui. Mengubah garasi mobil jadi rak-rak buku keluar uang “kocek sendiri” Rp. 10 juta. Hanya 14 anak yang bergabung mau membaca buku di TBM. Koleksi buku hanya 600 buku. Semua dikerjakan sendiri. Maka sangat pantas untuk pesimis di taman bacaan. Tapi setelah peresmian taman bacaan semua berubah. CSR korporasi yang bantu biaya operasional datang, terkumpul dana Rp. 40 juta. Anak-anak yang membaca bertambah jadi 30-an anak. Buku bertambah jadi 1.000 buku. Dan akhinrya, tidak lagi dikerjakan sendiri. Bisa membayar 2 wali baca yang membimbing aktivitas taman bacaan. Itu pada 5 tahun lalu.
Jadi, realitas di taman bacaan. Memang hanya dua, optimis atau pesimis. Faktanya, memang sulit mengubah kata “saya tidak bisa” menjadi “saya bisa”. Apalagi di taman bacaan sebagai jalan sunyi pengabdian, banyak orang tidak peduli. Hasil kajian saya di Survei Tata Kelola Taman Bacaan tahun 2022 (Juni-Juli 2022) yang diikuti 172 pegiat literasi dari 97 kabupaten/kota di 27 provinsi di Indonesia menyebutkan 90% taman bacaan hanya punya dana operasional di bawah 50% dari kebutuhan. Hanya 10% taman bacaan yang dana operasionalnya mencukupi 50% ke atas. Itu berarti, taman bacaan bikin frustrasi. Sudah sifatnya sosial, dana operasional pun harus dari “kocek”pegiat literasi sendiri. Jadi, apa alasannya tidak pesimis?
Adalah realitas di taman bacaan. Ada pegiat literasi yang optimis, ada yang pesimis. Optimis karena punya komitmen sepenuh hati. Tapi yang pesimis pasti, komitmennya setenagh hati. Itulah sisi psikologis yang harus dibenahi dari pegiat literasi. Bila taman bacaan mau maju dan berkembang, maka hanya optimism yang bisa menuntunnya. Tapi bila pesimis, ya tinggal tunggu waktu untuk “mati suri”. Jadi di taman bacaan, harus dibangun atas dasar optimisme bukan pesimisnya. Perbaiki niat, perbagus ikhtiar, dan perbayak doa. Plus komitmen sepenuh hati. Insya Allah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan berjuang di taman bacaan. Sederhanya, kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak bisa?
Komitmen sepenuh hati itulah yang membuat optimis di taman bacaan. Justru kecerdasan malah membuat pesimis. Terlalu banyak berpikir, terlalu takut yang berlebihan. Pegiat literasi yang optimis itu lebih suka menghitung keberhasilan daripada menghitung berapa banyak kegagalan. Semua yang terjadi di taman bacaan, di lihat dari sisi baiknya, sisi positifnya.
Orang optimis, berkiprah di taman bacaan bukan dilihat dari untung-ruginya. Tapi sebagai ladang amal dan mengabdi untuk orang banyak secara sosial. Untuk menggapai ridho Allah SWT. Saat di taman bacan, ada “harga yang tidak terbayar” oleh apapun saat mampu menebar manfaat kepada orang lain. Khoirunnaas anfa uhum linnas. Sebaik-baik manusia itu yang paling bermanfaat untuk orang lain. Berbeda dnegan orang pesimis, seolah-olah hidup isinya masalah. Pikirannya negatif, omongannya jelek. Selalu merasa nestapa dan tiap masalah dianggap tidak ada jalan keluar. Keluh-kesah melulu. Seolah Allah SWT tidak kuasa atas segalanya.
Berkiprah di taman bacaan, hanya optimism yang mampu menggerakkan kaki untuk melangkah, sekalipun tubuh sudah ingin menyerah. Maka di taman bacaan, jangan pernah berhenti ketika lelah. Tapi berhentilah ketika selesai. Sungguh, tidak ada yang sulit bagi yang ingin, tidak ada yang mudah bagi yang enggan. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka