Zaman digital bisa jadi tanda zaman makin edan. Gimana nggak? Dia yang salah tapi dia yang paling ngotot merasa benar. Ada juga orang yang memusuhi perbuatan baik yang dilakukan orang lain. Bahkan ada orang dia yang menembak tapi bilangnya orang lain yang menembak. Memang makin edan zaman begini. Maka hati-hati dan waspada.
Zaman makin edan. Siapa pun harus punya cara untuk nggak ikutan edan. Menyebut dirinya baik tapi kelakukannya bobrok. Katanya jangan ngomongin orang tapi hari-hari kerjanya bergunjing. Statusnya kerjakan yang baik tapi sebatas di media sosial. Nasihatnya jadilah orang baik tapi yang dikerjakan malah jadi orang jahat. Lagi-lagi, zaman memang makin edan. Eling, eling, dan eling.
Jadi, gimana biar nggak ikut edan?
Tentu, ada banyak cara. Masing-masing orang pun berbeda. Ada yang healing pergi ke suatu tempat, ada pula yang nongkrong di kafe-kafe. Hingga ngobrol di grup WA hingga akhirnya bergunjing dan menyalahkan orang lain. Yah, itu terserah masing-masing. Toh, apa yang diperbuat akan kembali kepada dirinya sendiri.
Tapi beda halnya dengan pegiat literasi di TBM Lentera Pustaka. Biar nggak ikut edan, justru terapinya adalah “menulis setiap hari”. Tiada hari tanpa menulis. Menulis biar nggak ikut edan. Nulis apa saja asal tetap sehat dan nggak ikut edan. Menulis apa saja yang bisa ditulis. Sebagai pegiat literasi, saya nggak pernah nggak menulis. Menulis di blog pribadi, di kompasiana, di kumparan, di indonesianatempo, dan di website: tbmlenterapustaka.com. Ada juga tulisan yang saya kirim ke redaksi media online. Intinya, menulis biar nggak edan.
Sebut saja di salah satu media warga (citizen media), hingga kini saya sudah menulis sekitar 2.473 artikel, dengan jumlah pembaca mencapai 1.366.757 orang. Bila dibikin rata-rata dalam 10 tahun terakhir, maka saya menulis 20 hari dalam sebulan. Artinya 66% hidup saya dalam sebulan pasti dipakai untuk menulis. Menulis biar nggak edan. Dari mana sumber tulisannya? Sederhana bagi saya, sumber tulisan itu hanya 3 (tiga) yaitu: 1) pengalaman, 2) pengetahuan, dan 3) perasaan. Sehingga apa yang saya tulis itu asli karena saya pasti punya pengalaman,, punya pengetahuan, dan punya perasaan. Itulah tips menulis yang paling mudah.
Lagi pula, nggak usah bermimpi bikin tulisan harus sempurna. Karena bagi saya, menulis adalah ruang ekspresi. Ruang untuk menuangkan ide dan gagasan berbasis pengalaman, pengetahuan, dan perasaan. Jadi sah-sah saja apa pun yang mau ditulis. Bila berkenan, silakan dibaca bila tidak berkenan ya nggak usah dibaca. Karena tugas penulis ya menulis. Karena spirit saya adalah “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer).
Saat ini pun saya masih menulis. Misalnya, menulis untuk disertasi S-3 di Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak. Menulis buku “100 Kisah di Langit Taman Bacaan” sebagai hadiah special untuk HUT ke-5 TBM Lentera Pustaka November 2022 nanti. Dan masih beberapa naskah buku yang memang saya persiapkan. Menulis biar nggak edan.
Menulis biar nggak edan. Paling tidak sudah mengingatkan diri saya sendiri. Untuk ngga banyak bicara sebelum menulis. Nggak banyak omong bila tidak tahu duduk persoalannya. Nggak banyak mengeluh soal hidup bila belum maksimal mensyukrinya. Maka, menulis adalah resep paling mujarab biar nggak edan. Biar sehat dan mencerahkan. Agar saya tetap berdiri di titik saya sendiri, bukan di titik orang lain.
Maka teruslah menulis. Biar nggak ikut edan. Seperti kata Ali bin Abi Thalib “semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak”. Salam literasi #MenulisBiarNggakEdan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka