Seorang kawan, sibuk sekali. Pagi urusan kerjaan, siang nongkrong sana nongkrong sini, sore ngecek update media sosial, dan malamnya menonton TV. Ada pula yang dari padgi hingga malam hanya sibuk komentar di grup WA. Apa saja dikomentari. Sangat sibuk sekali. Hampir tidak punya waktu. Hari-harinya sudah terjadwal begitu padat, persis seperti jadwalnya anak sekolah di dalam kelas. Hingga lupa, sebenarnya dia sedang berjuang untuk apa?
Jadi selama ini, kita sedang berjuang untuk apa?
Hari-hari ini, para politisi pun sibuk sekali. Sedang berjuang mau dengan siapa berkoalisi, mau mencalonkan siapa? Sibuk untuk merebut kekuasaan di Senayan. Berjuang untuk politik dan kekuasaan. Kawan yang lain pun hari ini sedang sibuk berjuang untuk kesenangan dan kenikmatan sesaat. Sebab kesenangan dianggap sebagai nilai hidup. Ada yang berjuang untuk kaya, ada yang berjuang untuk gaya hidup, bahkan ada yang berjuang hanya mengomentari orang lain bila tidak mau dibilang gibah atau gosip.
Semua orang pasti berjuang. Tapi ada perjuangan yang baik dan tidak baik. Ada perjuangan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Sibuk berkomentar di grup WA, wara-wiri tidak jelas, hingga membenci atau menghakimi orang lain tentu sama sekali tidak ada manfaatnya. Sebaliknya membaca buku, mengaji, atau mengajar pasti bermanfaat. Maka berjuang itu jelas, ada yang baik dan tidak baik. Ada yang bermanfaat ada yang tidak bermanfaat.
Dari Anas bin Malik RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.” (HR. Muslim, No. 2823). Adalah bukti kebencian, kemaksiatan, bahkan kejahatan pun jadi bagian dari perjuangan. Akibat terbuai nafsu dan egoisme. Sehingga cenderung menyuruh berjuang untuk kejahatan. Selalu memerintah diri untuk berbuat keburukan.
Tidak masalah, berapa umur kita? Secantik apa kita? Atau sesukses apa kita? Tapi yang pasti, setiap kita pasti ada hal-hal yang diperjuangkan. Disadari atau tidak, apa yang kita lakukan adalah bukti tentang apa yang kita perjuangkan. Sibuk sekali untuk apa? Sehari-hari tidak punya waktu, jadi waktunya dihabiskan untuk apa? Jadi, sebenarnya kita berjuang untuk apa? Pertanyaan sederhana yang sulit untuk dijawab.
Kita berjuang untuk apa?
Saya pun tersadar. Kenapa para relawan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor selalu datang ke taman bacaan. Sesuai jadwalnya untuk membimbing dan mengajar anak-anak di taman bacaan, seperti membaca buku, belajar calistung, berantas buta aksara, hingga menjalankan aktivitas motor baca keliling. Begitu pula ibu-ibu yang selalu mengantar anaknya rutin ke taman bacaan. Ternyata mereka berjuang untuk menegakkan kegemaran membaca dan budaya literasi masyarakat. Berada di taman bacaan, mungkin bagi sebagian orang dianggap tidak bermanfaat. Tapi bagi saya, siapapun yang berada di taman bacaan adalah perjuangan. Untuk mempertahankan aktivitas membaca dan literasi di tengah gempuran era digital. Sebuah perjuangan yang baik dan bermanfaat, tidak dapat diukur dengan materi apalagi gengsi.
Berjuang di taman bacaan adalah baik dan bermanfaat. Itulah perjuangan yang sejati. Untuk selalu berbuat baik dan menebar manfaat melalui buku-buku bacaan, di samping memelihara interaksi sosial di “jalan lurus”. Tanpa sikap jumawa, tanpa terbuai nafsu apalagi obsesi. Berjuang untuk amal soleh dengan ikhlas dan sabar. Berjuang sepenuh hati untuk literasi dengan jiwa raga. Berjuang untuk “khairunnass anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.
Berjuang tidak lagi soal kesenangan, bukan soal kenikmatan, Berjuang bukan untuk politik dan kekuasaan. Tapi berjuang untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan humanitas dalam menegakkan kegemaran membaca anak-anak dan masyarakat.
Memang benar, nilai hidup tiap orang pasti berbeda-beda. Tapi pertanyaan penting harus tetap berani disajikan. Sebenarnya kita berjuang untuk apa? Baik dan bermanfaat atau tidak. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka