Sakit tapi Tidak Sakit, Penyakit Apa Itu?

Entah di negeri sebelah mana, ada penyakit yang tidak dirasakan sakitnya. Saat seorang kawan, begitu banggun pagi tidak lagi sempat ngopi. Tidak lagi sempat menikmati pemandangan pagi, bahkan berzikir untuk mengingat kebesaran Allah SWT. Bangun pagi, mandi lalu bergegas mengejar dunia. Sibuk sekali. Hanya dunia yang dipikirkan dan dikejarnya. Seolah-olah tidak ada lagi anugerah-Nya yang bisa dinikmati. Pemandangan indah, bercengkrama, bahkan zikir-sholawat pun dianggap sudah tidak relevan lagi.

 

Hati-hati, ada penyakit di dunia ini yang tidak dirasakan sakitnya. Bukan sakit fiksi, apalagi tubuh yang terluka. Tapi sakit batin, sakit ambisi yang dirundung mimpi. Sakit dunia yang berkepanjangan tanpa pernah ada akhirnya. Sakit dan sakit tapi tidak terasa sakitnya. Ada 4 (empat) penyakit yang ditanamkan kepada orang yang mengejar dunia. Yaitu sakit 1) punya keinginan yang tidak ada putus-putusnya, 2) sibuk yang tidak jelas akhirnya, 3) punya kebutuhan yang tidak pernah merasa terpenuhi, dan 4) khayalan yang tidak pernah berujung. Mengerikan sekali, sakit dunia bila membuncah di seluruh tubuh dan pikiran. Apalagi sampai “tinggalkan” sang pencipta. Hingga lupa artinya bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.

 

Apakah di antara kita pernah terkena penyakit itu? Penyakit yang tidak terasa sakitnya. Penyakit yang disebabkan pengaruh glamour-nya gaya hidup, menterengnya media sosial. Hingga penyakit yang memburu status sosial. Agar dibilang keren dan beken. Penyakit biar tekor asal kesohor. Hati-hati, penyakit bergelimang fantasi. Ilusi atau hanya rekayasa semata. Hingga lupa, sebenarnya kita dari mana berasal dan mau ke mana akan pergi?

 

Itulah penyakit “hilangnya cahaya sejati dan berganti jadi “cahaya semu”. Selalu hidup dalam keluh-kesah dan menyalahkan keadaan serta orang lain. Tidak ada lagi cahaya yang menyinarinya. Menyangka dapat solusi dan jalan keluar, ehh ternyata hanya “zonk” semata. Makin sakit, karena berada di jalan yang salah. Punya tujuan tapi membahayakan. Akibat penyakit yang tidak dirasakan sakitnya. Kembali lagi, hidup seperti zombie. Tiap pagi, sibuk hanya mengejar dunia. Dunia, dunia, dan dunia dianggap segalanya.

 

Penyakit literasi terjadi, ketika siapapun bertindak tidak literat. Gagal memahami realitas. Lalu sibuk mengejar dunia hingga gampang menyalahkan orang lain. Entah, sesakit apa dari penyakit yang tidak dirasakan sakitnya?

Maka berhentilah sejenak. Ngopi dulu saja. Agar lebih rileks. Karena dunia itu tidak akan pernah terkejar bila dauber-uber. Karena sejatinya, anugerah dan karunia dari_nya, sudah pantas untuk kita.  Semua sudah ada yang mengaturnya, dan semua sudah sesuai porsinya. Salam literasi!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *