Sapi yang Literat, Baca Buku Sebelum Dipotong

Idul Adha identik dengan memotong hewan qurban seperti sapi dan kambing. Makanya Idul Adha sering disebut “idul qurban”. Di mana-mana dan hampir sebagian besar masjid dan pemukiman melakukan pemotongan hewan qurban. Sebagai amal ibadah sekaligus membuktikan keikhlasan dalam ibdah kepada Allah SWT.

 

Menariknya di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, hewan qurban baik sapi atau kambing tergolong literat. Sebelum dipotong, sapi atau kambing yang hendak dipotong menyempatkan membaca buku terlebih dulu. Sementara di tempat lain, tidak sedikit sapi yang ngamuk sebelum dipotong. Sapi stress sebelum dipotong. Sementara sapi yang literasi, bisa jadi membaca buku sebagai sarana untuk relaksasi sebelum dipotong esoknya. Sebut saja, sapi atau kambing yang literat, hewan yang tahu diri sebelum umurnya berakhir. Alhamdulillah, Idul Adha 1445 H 0 tahun 2-24 ini, TBM Lentera Pustaka menggelar pemotongan hewan qurban berupa 1 ekor sapi dari Bank Sinarmas dan 2 ekor kambing dari Pendiri TBM Lentera Pustaka dan hamba Allah.

 

Sapi yang literat, sempat-sempatnya membaca buku sebelum dipotong. Mungkin karena sapi dan kambingnya ada di taman bacaan. Ternyata, hewan pun menyesuaikan dengan lingkungannya. Bila lingkungan literat, maka hewan pun ikut literat. Mata batinnya seperti paham, banyak buku bacaan jadi ikut membaca. Walau belum diketahui, apakah sapi yang membaca buku ada hubungannya dengan rencana kematiannya saat dipotong sebagai hewan qurban? Tapi intinya bila sapi saja bisa literat, kenapa manusia tidak?

 

Literat itu lahir dari literasi. Seseorang disebut literat, bila memiliki kompetensi dan kecakapan dalam hidup. Orang yang berdaya dan mampu memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku baik sehari-hari. Karena itu, orang yang disebut literat pasti memiliki 3 (tiga) ciri yang menonjol, yaitu: 1) hidupnya selalu adaptif, 2) kontribusinya selalu positif, dan 3) manfaatnya pasti solutif. Tanpa ciri-ciri itu, maka siapapun belum bisa disebut literat.

 

Manusia literat, tentu sulit dapat diwujdukan pada lingkungan yang tidak literat. Lingkungan yang lebih doyan ngomong daripada membaca buku. Lingkungan yang sehari-harinya mengeluh tanpa bisa mencari solusi. Lingkungan yang lebih banyak pesimis daripada optimis. Manusia literat itu, sejatinya “mengubah JENDELA menjadi PINTU”. Agar terwujud masyarakat yang memiliki pengetahuan yang luas, di samping memiliki cakrawala berpikir yang lebih baik. Lebih bermanfaat bagi orang banyak. Sebaliknya manusia tidak literat, hanya bisa mengutuk malam tanpa mampu menghadiirkan terang.

 

Belajar dari sapi yang literat, literasi di mana pun sangat penting. Agar mampu menghadirkann manusia yang literat. Manusia yang punya “kompetensi dan kecakapan” dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku. Orang yang mampu adaptasi terhadap perubahan. Dan yang terpenting, mampu memecahkan masalah atas realitas kehidupan sehari-hari. Jadilah literat!

 

Memang kulit dari literasi itu memang pahit. Namun buahnya sangatlah manis dan aromanya wangi. Semerbak aroma manusia yang berjiwa literat. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *