Opini  

Segelas Kopi Hitam di Taman Bacaan

Segelas kopi hitam di taman bacaan. Aku pun meneguknya sore ini. Aroma semerbak kopi yang indah. Lagi menggairahkan. Kopi yang tetap dicintai. Tanpa menyembunyikan rasa pahit dirinya. Dari kopi, aku pun belaar dan membaca sebuah buku.

 

Tiba-tiba, seorang anak muda datang menghampiriku. Duduk persisi di sebelah sambil membawa secangkir kopi hitam. Sambil menyalakan sebatang rokok. Dari sini, obrolan kecil tentang kopi hitam di taman bacaan pun dimulai.

 

“Maaf Pak, sepertinya Bapak begitu santai. Ngopi sambil membaca buku?” tanya si anak muda kepadaku.

“Iya betul Dek. Waktu itu punya kita. Maka luangkan waktu untuk rileks sambil menikmati kopi hitam” kataku.

“Enak sekali ya Pak, baca buku sambil minum kopi” kata si anak muda lagi.

“Alhamdulillah, saya memang terbiasa ngopi. Di taman bacaan pun sellau ada inspirasi. Ngomong-ngomong, apa aktivitasmu, anak muda? Bekerja atau kuliah?” tanyaku ingin tahu.

“Ohhh, saya belum bekerja Pak. Sedang kuliah. Masih mahasiswa” jawab si anak muda.

“Mantap itu. Memang, jadi mahasiswa enak sih. Masih belajar dan cukup bisa dibanggakan orang tua” selorohku sedikit saja.

“Ahh, Bapak bisa saja. Justru sebenarnya, saya ingin segera lulus kuliah dan bekerja. Ingin mencari uang untuk hidup saya sendiri” kata anak muda lagi.

“Lohh, kok gitu. Selesaikan saja kuliahmu, Dek. Baru pikirkan mencari kerja. Lagipula, bekerja itu bukan hanya untuk mencari uang kan” kataku.

“Iya sih Pak. Tapi menurut saya, buat apa saya kuliah jika tidak bisa mendapat kerja yang layak. Agar bisa punya uang. Faktanya kan orang bekerja untuk mencari uang. Ada pekerjaan maka ada uang” argumen si anak muda.

Cukup logis, pikirku. Tapi aku hanya tersenyum dalam hati. “Maklum anak muda. Analisisnya memang jago, seperti diajarkan di banyak kampus” pikirku.

Sedikit terpaksa, aku menjelaskan ke si anak muda.

“Benar sekali Dek. Saya setuju sekali. Kamu sekolah yang tinggi agar bisa bekerja. Dan memperoleh uang. Tapi ketahuilah, bekerja itu tidak selalu soal uang. Bisa kok, kita bekerja untuk berbuat yang lebih tinggi dari sekadar mencari uang. Yaitu, bekerja untuk meluruskan kodrat kita sebagai manusia. Manusia yang selalu menghambakan diri kepada Tuhannya. Maka, carilah pekerjaan dan bekerjalah agar kita dapat melihat Tuhan”

“Bekerja untuk melihat Tuhan? Apa maksudnya Pak?” Tanya si anak muda penasaran.

“Ya, melihat Tuhan di tempat kerja. Untuk memenuhi eksistensi sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan. Bekerja agar tidak lupa kodrat kita sebagai manusia. Punya uang, punya kedudukan, bahkan harta yang banyak pun tetap saja kita hamba Tuhan. Jadi, kerja bukan soal di mana bekerjanya? Dan berapa gajinya? Tapi apa manfaatnya bekerja” jawabku.

“Ohhh, begitu ya Pak” kata si anak muda singkat.

“Ya begitulah. Seperti kopi hitam yang kita minum ini. Kopi ini diciptakan Tuhan untuk kita manusia. Ditanam dan dipetik untuk diambil manfaatnya. Tapi sayang, sekarang kopi sudah dilihat dari soal uang, dari sisi bisnis dan cita rasa saja. Akhirnya, kopi sudah menjadi sesuatu yang mahal. Bahkan kopi sudah bisa mengubah gaya hidup dan cita rasa manusia. Hingga kita lupa pada kodrat. Padahal, kopi itu diciptakan dan dimanfaatkan untuk manusia agar merasakan nikmat Tuhan. Bukan soal eksklusivitas semata” kataku menjelaskan.

 

Si anak muda lalu mengangguk. Baru mengerti arti bekerja.

“Terima kasih, pak. Saya baru menyadari. Berarti, apapun pekerjaan saya nanti. Saya harus bisa melihat Tuhan. Berapa pun uang yang saya peroleh” kata si anak muda.

Aku mulai kagum pada si anak muda.

“Tepat sekali Dek. Kita bekerja bukan hanya untuk meraih penghasilan. Tapi juga untuk melihat keagungan Tuhan. Menyadari betapa kecilnya kita sebagai manusia. Sikap moral ini yang penting dalam bekerja. Agar tetap selaras antara hidup kita dengan Tuhan. Ya, seperti segelas kopi hitam ini. Kita diajarkan untuk menikmati kebesaran Tuhan. Bukan untuk memilikinya” sahutku sambil mengakhiri obrolan dengan si anak muda.

 

Seperti aktivitas di taman bacaan. Inilah cara untuk melihat Tuhan. Menyediakan akses bacaan untuk anak-anak yang terancam putus sekolah. Sederhana tapi kini dirasakan manfaatnya. Sejak berdiri tahun 2017, TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak hanya punya 14 anak dengan 600 buku. Tapi kini di September 2021, sudah melayani lebih dari 16o anak pembaca aktif dengan lebih dari 6.000 koleksi buku. Anak-anak yang membaca pun dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya). Selain itu, di taman bacaan ini pun ada program lainnya seperti: 1) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA), 2) KEPRA (Kelas PRAsekolah), 3) YABI (YAtim BInaan), 4) JOMBI (JOMpo BInaan), 5) TBM Ramah Difabel, 6) KOPERASI LENTERA, 7) DonBuk (Donasi Buku), 8) RABU (RAjin menaBUng), 9) LITDIG (LITerasi DIGital), dan 10) LITFIN (LITerasi FINansial) setiap bulan sekali. Saat ini pun TBM Lentera Pustaka terpilih 1 dari 30 TBM di Indonesia yang menggelar program “Kampung Literasi 2021” dari  Direktorat PMPK Kemdikbud RI dan Forum TBM.

 

Maka segelas kopi hitam di taman bacaan. Selalu mengingatkan siapa pun. Bahwa hidup bukan hanya uang. Tapi mau menebar manfaat kepada orang lain.. Agar tetap bersyukur dalam segala keadaan. Bila ikhtiar sudah, maka doa yang akan menyempurnakannya. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi #KampungLiterasiSukaluyu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *