Suka Duka Pegiat Literasi di Taman Bacaan, Butuh Energi Ekstra

Berjuang di taman bacaan, memang penuh suka duka. Bukan suka-suka, bukan pula duka-duka. Suka duka, berarti ada senangnya tapi ada pula sedihnya. Berkiprah di taman bacaan itu proses. Harus dimulai, dikelola dan dijalani. Lalu, hasil aatu manfaat pasti tidak akan pernah mengkhianati proses. Tapi patut dipahami pula, taman bacaan di mana pun adalah

“jalan sunyi” yang tidak banyak dipilih orang. Taman bacaan, sebuah jalan pengabdian yang sepi dari lalu-lalang popularitas atau gaya hidup sekalipun.

 

Maka di taman bacaan, pasti butuh energi ekstra. Semangat yang terus membara. Dedikasi yang sepenuh hati. Bahkan rela menyediakan waktu sesuai jadwalnya, bukan selamanya ya. Faktanya, taman bacaan sulit bila dijalani setengah hati. Terlalu banyak kendala. Dari mulai soal ketersediaan koleksi buku. Soal anak-anak yang harus membaca. Bahkan tata Kelola taman bacana, bagaimana seharusnya? Belum lagi, relawan yang pasang surut. Apalagi kepedulian orang-orang sekitar. Jadi, taman bacaan pasti butuh energi ekstra. Bahkan melebihi energi seorang kepala keluarga yang berjuang menafkahi istri dan anak-anaknya.

 

Suka duka taman bacaan.

Spiritnya sederhana. Taman bacaan adalah perbuatan baik. Taman bacaan pun ladang amal untuk semua orang dalam berkontribusi. Terhadap tradisi baca dan budaya literasi anak-anak dan masyarakat di sekitarnya. Maka taman bacaan dapat dikatakan sebagai “legacy” atau warisan yang ditinggalkan untuk umat. Biarlah, taman bacana di mana pun, berproses. Seperti air di sungai, toh pada akhirnya taman bacaan akan menemui jalannya sendiri. Taman bacaan akan mencapai tujuan dan manfaatnya bila waktinya tiba. Tapi sayang kini, masih banyak taman bacaan yang dikelola setengah hati. Dan tidak punya energi ekstra untuk terus survive. Untuk bertahan di tengan gempuran era digital atau di tengah sengitnya pertarungan gaya hidup di luar sana.

 

Suka duka taman bacaan.

Mari kita mulai suka-nya. Karena di taman bacaan, anak-anak yang tadinya tidak memiliki akses membaca buku. Hanya di taman bacaan akhirnya mereka bisa membaca. Menambah wawasan dan pengetahuan. Sambil belajar tahu cara menggunakan waktu dengan baik. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Sementara anak-anak lain terkendala PJJ, taman bacana mampu mengambil peran sebagai sentra kegiatan membaca, belajar bahkan kreativitas.  Sepert di TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Kini ada 168 anak-anak pembaca aktif usia sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) yang rutin membaca seminggu 3 kali. Dan mampu melahap 5-8 buku per minggu per anak.

 

Suka lainnya di taman bacaan. Taman bacaan pun bisa jadi sentra kegiatan masyarakat. Tempat bertemunya anak-anak dan warga dalam aktivitas yang positif. Seperti slogan “buku untuk semua”, itu benar-benar terjadi di taman bacaan. Di TBM Lentera Pustaka lagi, ada puluhan anak pembaca aktif yang selalu diantar ibunya. Ada ibu-ibu buta huruf yang belajar baca-tulis. Ada anak-anak usia PAUD yang diantar ibunya untuk belajar calistung sebelum masuk SD.  Ada 5-6 pedagang kampung yang mangkal di depan taman bacaan. Bahkan ada orang-orang baik, inividu maupun korporasi yang berkunjung dan berbakti sosial atau CSR di TBM Lentera Pustaka. Taman bacaan jadi “darah baru” aktivitas masyarakat yang baik. Sungguh, itu bisa terjadi di taman bacaan

 

Suka di taman bacaan, yang bisa menitikkan air mata siapapun, adalah saat kita mengamati dengan seksama. Ternyata, taman bacaan mampu memberdayakan orang-orang yang selama ini terpinggirkan. Mereka yang tidak diperhatikan jadi berdaya. Walau hana dnegan tersedianya tempat membaca, diajari agar terbebas dari buta huruf. Bahkan anak-anak prasekolah yang bergembira ria saat di taman bacaan. Alhamdulillah, itulah kiprah taman bacaan yang tidak ternilai harganya. Tidak bisa dibandingkan oleh hal-hal yang bersifat material atau duniawi.

 

Sungguh, taman bacaan memang bukan hanya tempat membaca buku. Apalagi disebut gudang buku. Tapi taman bacaan adalah media untuk melakukan perubahan sosial bagi kawasan yang memang membutuhkan. Sentra pendidikan masyarakat dan membangu peradaban masyarakat yang lebih baik. Sekalipun banyak tantangan, di taman bacaan terbukti selalu ada cahaya terang untuk melewati gelapnya rintangan malam. Itu semua cerita suka, hidup di taman bacaan.

 

Lalu, bagaiman dukanya di taman bacaan?

Duka, tentu ada. Apapun selagi di dunia, tidak ada yang mulus-mulus saja. Pasti ada pasang surutnya. Ada senang pasti ada sedihnya. Dan itu bukti, bahwa setiap kepala orang itu tidak sama. Sekalipun aktivitas taman bacaan bersifat sosial dan sebuah perbuatan baik. Pasti  ada orang yang tidak suka. Sebut saja contoh konkret di TBM Lentera Pustaka. Ada orang yang membenci aktivitas taman bacaan, saat anak-anak sedang membaca bahkan pengelola dan relawannya pun dibenci. Entah karena apa? Ada juga yang melarang anaknya untuk membaca di taman bacaan. Jangan membantu taman bacaan, ada saja orang-orang yang menebar fitnah, hoaks, dan menggunjing tentang taman bacaan. Maka berjuang di taman bacaan itu butuh energi ekstra. Bahkan kesabaran tingkat tinggi. Sungguh itu benar sekali.  Bila tidak menyedihkan ya memprihatinkan. Kok ada orang-orang yang berpikir negatif tentang taman bacaan. Aneh kan?

 

Apapun “the show must go on”. Taman bacaan pun harus terus bergerak, harus jalan terus. Karena di zaman begini, hanya taman bacaan yang bisa jadi “musuh atau lawan tanding” dari tngginya putus sekolah, pernikahan dini, narkoba, atau gim online. Jadi, bila ada orang-orang yang tidak suka pada taman bacaan tidak usah digubris. Maklumin saja, karena mereka tidak literat. Tidak paham apa pentingnya taman bacaan? Lagipula, kan setiap orang tidak sama. Tidak suka atau benci itu, wajar dan sangat manusiawi. Maka, siapa pun pegiat literasi di taman bacaan tetap fokus saja pada aktivitas membangun tradisi baca dan budaya literasi anak-anak dan masyarakat. Jalankan setiap program di taman bacaan dengan kreatif dan menyenangkan. Biarkan waktu yang akan membuktikan semuanya.

 

Maka berjuang di taman bacaan. Hanya ada dua pilihan; 1) menyerah pada keadaan dan menjadi semakin terpuruk atau 2) terus bergerak dan bergairah menebar kebaikan yang bermanfaat untuk umat. Hidup di taman bacaan memang tidak mudah. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi yang luar biasa. Tahan banting dan harus kreatif menghadapi realitas. Bila tidak, maka taman bacaan akan “mati suri”. Atau seperti ada tapi tiada. Seakan “jauh panggang dari api”, ada tapi tidak memberi manfaat besar kepada masyarakat, kepada lingkungan sekitarnya.

 

Ini kisah nyata di TBM Lentera Pustaka. Saat didirikan tahun 2017. TBM Lentera Pustaka hanya punya 14 anak yang membaca. Tapi kini sudah mencapai 170 anak-anak pembaca aktif. Anak-anak yang dulunya tidak punya akses membaca buku, kini mampu membaca 5-8 buku per minggu per anak. Koleksi bukunya pun dulu hanya 600 buah. Tapi sekarang, sudah lebih dari 6.000 buku. Dan menariknya, 95% buku-buku itu berasal dari donasi. Bahkan biaya operasionalnya, seperti event bulanan, honor wali baca, listrik dan wifi dibiayai oleh pihak swasta sebagai sponsor CSR. Tahun 2021 ini, TBM Lentera Pustaka disponsori 1) Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, 2) Bank Sinarmas, dan 3) Pacific Life Insurance. Ada 10 relawan yang membantu dan selalu saja ada organisasi, komunitas, dan organisasi serta kampus yang berbakti sosial, mengabdi di kampung, dan ber-CSR atau ber-KKN di taman bacaan di kaki Gunung Salak ini. Satu lagi, energi taman bacaan makin kokoh bila didukung dengan kolaborasi dan kemitraan dengan pihak lain. Itu penting.

 

Harus diakui, gerakan literasi di Indonesia itu bisa dibilang lagi booming. Banyak diskusi dan seminar tentang literasi. Maka pegiat literasi harus paham. Jangan sampai mereka yang bicara dan omong soal literasi itu orang teori, bukan praktis. Literasi itu harus membumi, jadi pegiat literasi harus bicara. Tentang realitas, gimana sukanya dan dukanya. Saya pun kini “hanyut” dalam berbagai kegiatan seminar dan diskusi literasi. Bahkan TBM Lentera Pustaka sering diminta jadi narasumber gerakan literasi atau taman bacaan. Seperti NET TV, CNN TV/TransTB, DAAI TV, dan TV Parlemen. Belum lagi di media online atau media mainstream yang rajin meliput. Intinya, teruslah promosikan kegiatan taman bacaan di media sosial atau di mana pun.

 

Terakhir, bila sudah bisa “hidup” di taman bacaan. Sudah paham suka dan duka taman bacaan. Jangan lupa tuliskan pengalaman apapun yang terjadi di taman bacaan. Membaca itu tidak cukup bila tidak dituliskan. Berjuang di taman bacaan pun butuh dituliskan. Agar jadi pelajaran untuk pegiat literasi atau taman bacaan lainnya. Agar ada rekam jejak digital-nya. Agar 10 tahun lagi, bisa dievaluasi perjalanan taman bacaan itu sendiri. Mungkin nanti, 20 tahun lagi, kita jadi tahu. Apa yang sudah berubah di daerah itu di tempat taman bacaan berada? Agar tidak ada lagi anak putus sekolah, tidak ada lagi buta huruf, bahkan tidak lagi miskin keluaragnya. Insya Allah. Sehingga taman bacaan, memnag benar bisa jadi “legacy”, warisan bagi siapa pun yang merintis dan memperjuangkannya.

 

Dan hidup di taman bacaan itu “tidak semudah yang diomongkan bila tidak dipraktikkan”. Suka duka itu ada bila dijalani prosesnya, dicari jalan keluarnya dari setiap masalah yang ada. Hingga berujung, “khairunnaas anfauhum linnaass”. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.  Salam literasi #TamanBacaan #BacaBukanMaen #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi #SukaDukaTBM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *