Saat ditanya, “Kenapa rumah Bapak dijadikan taman bacaan?” Jujur, agak sulit menjawabnya. Karena terlalu utopis atau idealis. Lagi pula tidak semua perbuatan harus ada alasannya. Tapi bila dipaksa untuk menjawab, maka jawabnya “karena taman bacaan adalah sebuah panggilan”.
Kok bisa, rumah dijadikan taman bacaan. Bukankah sebaiknya rumah ditinggali, jadi tempat bermukim. Atau bila jauh lokasinya, ya minimal dijual saja agar bisa jadi uang yang nilainya tidak kecil. Jadi rumah dijadikan taman bacaan atau tidak, itu hanya soal cara pandang atau orientasi hidup. Mau untuk diri sendiri atau untuk orang lain?
Taman bacaan adalah sebuah panggilan.
Karena taman bacaan sifatnya sosial. Tidak ada uangnya, menyita waktu. Bahkan menguras tenaga, maklum kan kegiatan membaca. Apalagi ditambah membangun tradisi baca pada anak-anak yang bukan anaknya. Membangun peradaban pada masyarakat yang bukan tanah kelahirannya. Belum lagi soal kultur masyarakat yang apatis, alias cuek. Buku-buku bacaan mau dari mana? Biaya operasional taman bacaan-nya, bagaimana? Maka paripurna, taman bacaan memang tidak ada untungnya. Mungkin sebagian orang menganggap perbuatan sia-sia. Taman bacaan memang sebuah panggilan jiwa.
Rumah sendiri dijadikan taman bacaan saja masih ada yang memusuhi. Bikin program kegiatan membaca setahun, mengelola relawan, mengajak orang mengisi acara di taman bacaan. Sungguh tidak mudah melakukannya. Fitnah, gosip, dan hal lain yang buruk pun menghadang. Di taman bacaan, orang banyak lebih doyan ngomongi daripada bantuin. Itu fakta yang terjadi di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor yang kini punya 160-an anak pembaca aktif.
Kalau semua anak rajin membaca dan punya adab sopan-santun, mungkin masih bisa dibanggakan. Tapi kalau anak-anaknya pasang-surut, kadang datang baca kadang tidak baca. Langsung kepala jadi pusing. Apa taman bacaan masih perlu ada? Mumpung baru 5 tahun beroperasi, apa tidak sebaiknya taman bacaaan ditutup saja? Lalu, jual rumahnya kan bisa jadi uang. Ditambah sikap apatis masyarakat sekitar, makin frustrasi saja mengelola taman bacaan. Tapi lagi-lagi, memang taman bacaan itu sebuah panggilan.
Di era digital yang serba pragmatis begini. Siapapun tahu. Kalau ingin kaya, ya kerja yang keras. Pergi gelap pulang gelap. Kumpulkan harta sebanyak-banyaknya biar bisa pamer dan dibilang orang kaya. Kalau ingin banyak pahala pun sedekah atau sumbang uang yang banyak ke masjid. Tidak usah membuka taman bacaan. Jadi pengelola atau pegiat literasi pun bukan profesi. Tidak ada uangnya, tidak ada untungnya. Lalu, ngapain urus taman bacaan?
Selain panggilan jiwa, taman bacaan itu pengabdian. Pegiat literasi pun kerja sosial, atas nama kemanusiaaan. Masih ada wali baca, relawan, dan anak-anak yang mau membaca saja sudah patut disyukuri. Jangan berharap diberi imbalan apalagi gaji di taman bacaan. Tapi bila ada daerah yang tadinya tidak punya akses bacaan akhirnya tergerak membaca buku. Anak-anak yang gampang putus sekolah akhirnya bisa tetap lanjut sekolah. Ada ibu-ibu yang buta huruf akhirnya bisa membaca dan menulis. Sungguh itu semua jadi “warisan” yang luar biasa. Dan akhirnya di taman bacaan, ada kepuasan batin sendiri. Bersyukur dan hati pun bangga tiada kepalang. Taman bacaan akhirnya mampu melewati masa-masa penuh tantangan, periode kritis eksistensi taman bacaan.
Jadi, taman bacaan itu murni panggilan!
Bukan soal apa untungnya? Bukan pula soal dapat apa di taman bacaan. Soal popularitas apalagi kekayaan sama sekali bukan. Tapi taman bacaan soal tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Ini soal masa depan anak-anak di era digital yang harus tetap seimbang membaca buku. Ini soal warisan apa yang mau ditinggalkan di dunia. Seberapa manfaat manusia di dunia untuk manusia lainnya? Maka taman bacaan adalah soal hati, bukan materi. Soal panggilan jiwa, bukan soal logika semata.
Taman bacaan itu panggilan.
Bila mau menerima maka harus berani memberi. Bila pendidikan tinggi itu artinya mau belajar, maka harus mau mengajar. Bila ada yang dicari, harus ada pula yang dikeluarkan. One in one out. Karena hidup yang berkah itu bukan “keberuntungan” melainkan “keseimbangan”. Kekayaan pun bukan soal seberapa keras mencari. Tapi seberapa berani memberi. Jadi sukses yang berkah itu harusnya karena seimbang, bukan karena beruntung. Taman bacaan itu untuk menjaga hidup yang seimbang, bukan hidup yang beruntung. Itulah prinsip taman bacaan.
Coba bayangkan, bila di masa depan. Anak-anak Indonesia tidak lagi gemar membaca. Indonesia tidak lagi peduli kepada sesama-nya. Orang Indonesia yang egois dan individualis. Banyak orang pintar tapi tidak bermoral. Banyak orang percaya logika tapi tidak punya hati? Mau jadi apa Indonesia ke depan?
Maka jelas, taman bacaan itu panggilan. Pegiat literasi pun pengabdian. Tempat untuk sumbangsih sosial dan menjadikan kebaikan sebagai jalan kehidupan. Tapi ingat, siapapun pasti sulit bertahan di taman bacaan. Bila tidak tidak dijalani sepenuh hati dan belum kelar dengan dirinya sendiri. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen