Setiap pukul lima sore, kantor seolah melepaskan napas panjang. Kursi-kursi berdecit, komputer dimatikan, dan langkah kaki bergema di lorong panjang menuju parkiran. Di antara mereka, Pak Darto, pegawai bagian administrasi yang sudah bekerja selama 27 tahun, mengemasi meja kerjanya dengan rapi, seperti biasa.
Tapi sore itu ada yang berbeda.
Bukan karena langit mendung atau klakson mobil bersahutan, melainkan karena bisikan kecil yang terus mengganggunya sejak pagi: “Tinggal tiga tahun lagi pensiun, Dar.”
Tiga tahun, sama dengan 1.095 hari. Waktu yang terus berkurang, dan tabungan yang tak kunjung cukup. Uang gaji yang selalu habis untik biaya hidup bulanan.
Di halte busway TransJakarta, Pak Darto duduk sendiri. Melihat seorang anak muda berbaju rapi menaiki mobil listrik, tertawa sambil berbicara melalui headphone-nya. “Mungkin anak itu bahkan sudah punya dana pensiun dan tabungan yang cukup” pikir Pak Darto sambil tersenyum kecut.
Dulu, ia berpikir loyalitas pada kantor adalah segalanya. Selalu datang tepat waktu, tidak pernah menolak lembur, bahkan tak pernah berpikir pindah kerja. Ia hidup untuk bekerja. Kata kawannya yang sudah pensiun lebih dulu, ternyata uang pensiun dari kantor hanya cukup untuk hidup dua tahun, tiga tahun paling lama. Pak Darto kepikiran terus, sebentar lagi dia mau pensiun.
Anak-anaknya belum semua mapan. Istrinya, Bu Rini, masih berharap bisa membuka warung kecil di kampung halaman. Tapi dari mana modalnya?
“Kalau sakit nanti gimana? Kalau anak-anak belum siap, apa aku jadi beban?” bisik gelisah Pak Darto itu makin nyaring.
Busway pun datang. Pak Darto naik pelan-pelan, duduk di kursi dekat jendela. Kota berpendar cahaya, tapi pikirannya gelap. Ia mengingat masa mudanya, saat gaji pertama dibelikan motor, bukan ditabung. Saat tunjangan habis untuk cicilan, bukan menyiapkan dana pensiun.
Ia juga teringat pada kawannya, Pak Joko, yang pensiun dua tahun lalu. Dulu mereka duduk di meja yang sama. Tapi kini, Pak Joko sesekali menghubunginya, bercerita betapa sulit hidup hanya dengan uang pensiun dari kantor. Semuanya pas-pasan dan paling bertahan dua tahun setelah pensiun. “Aku kira cukup, Dar. Tapi ternyata, habis buat biaya hidup bulanan kebutuhan harian. Apalagi kalua sakit, pasti ludes. Aku nggak nyangka hidup setelah pensiun itu… sepi dan mahal.”
Malam itu setibanya di rumah, ia membuka laci lama yang penuh dokumen. Ia menemukan brosur tentang DPLK yang pernah dibagikan di kantor lima tahun lalu. Waktu itu, ia anggap brosur itu seperti iklan biasa. Kini, ia baca perlahan, kata per kata, seperti seseorang yang baru belajar mengenal masa depan. Apa sih artinya mempersiapkan pensiun? Kata batinnya.
Pak Darto mulai membuka-buka ponsel, mencari video tentang perencanaan pensiun. Ia menonton dengan saksama, sesekali mencatat. “Mulailah dari yang kecil, asal konsisten,” kata seorang edukator dana pensiun di YouTube. Kata-kata itu menempel di kepalanya.
Besok paginya, ia datang lebih awal ke kantor. Bukan untuk kerja lembur, tapi untuk menemui bagian HR.
“Mbak Santi, saya boleh tanya soal program pensiun tambahan itu? Yang dulu sempat dibagikan? Saya tertarik ikut.”
Mbak Santi tampak terkejut, tapi senang. “Tentu, Pak. Kalau Bapak mulai sekarang, masih bisa kumpul cukup untuk modal kecil. Kita bisa atur potongan dari gaji bulanan. Nanti kami di HR akan bantu membayarkan iurannya dari gaji Bapak..”
Sore harinya, ia duduk di meja makan bersama Bu Rini. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, percakapan mereka bukan tentang harga sembako atau kuliah anak, melainkan tentang hari tua.
“Bu, nanti kalau kita pulang kampung, kita bisa buka warung kecil. Mungkin nggak besar, tapi cukup buat kita sibuk, dan… hidup. Aku juga mulai nabung di dana pensiun, lumayan 3 tahun sebelum pensiun.”
Bu Rini tersenyum. Bukan karena warungnya, tapi karena akhirnya, Pak Darto memilih untuk tidak hanya gelisah. Tapi juga bersiap.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Setiap kali melihat kalender, Pak Darto tidak lagi menghitung waktu yang habis, tapi waktu yang bisa dimanfaatkan. Ia mulai berbicara dengan rekan-rekannya. Mengajak berdiskusi soal masa pensiun. Beberapa menanggapi dengan tawa sinis, tapi sebagian lain mendengarkan dengan serius.
Hingga suatu hari, Pak Darto diminta berbagi informasi di acara internal kantor bertema “Mempersiapkan Pensiun Sejak Dini”. Ia tak menyangka, kegelisahannya bisa berubah menjadi suara yang didengar orang lain. Rekan-rekan sekantor-nya pun menyimak dengan seksama.
“Rekan-rekan, saya memang terlambar ikut dana pensiun. Tiga tahun jelang pensiun. Tapi inilah kesadaran yang saya harus bagikan ke rekan-rekan. Siapkan masa pensiun sejak dini, mulailah menabung di DPLK. Untuk hari tua kita sendiri, agar tak gelisah dan merana”.
Jarum jam terus berputar. Tapi untuk Pak Darto, waktunya baru saja dimulai untuk sadar pensiun. Kata hatinya, “dunia boleh berlari tapi aku tidak boleh berhenti”. Untuk menyiapkan hari tua yang tenang. Karena kalua bukan aku, mau siapa lagi?