Demi Secangkir Kopi di Taman Bacaan

Bila ada makhluk di pagi hari, yang tetap mencintai pahit atas dirinya. Bahkan rela membunuh kantuk atas matanya. Hingga bernasihat kata-kata baik walau lelah menantinya. Mengabdi dan berkiprah tanpa pamrih untuk sesama. Itu terjadi, demi secangkir kopi di taman bacaan.

 

Demi secangkir kopi di taman bacaan. Siapapun ikhlas mempertemukan harapan dan kenangan di bibir seruputan kopi. Manis dan pahit bercumbu dalam satu peraduan. Sambil menatap gerimis tabir kehidupan yang tiada akhir. Bermesraan di tepi cangkir, untuk memadu di langit takdir. Sekali lagi, itu terjadi demi secangkir kopi di taman bacaan.

 

Seperti saya di Rooftop Baca Taman Bacaan Lentera Pustaka. Terduduk membaca untuk menikmati secagkir kopi bersama 60 anak-anak pembaca aktif. Seperti nongkrong di kafe-kafe, padahal hanya berdiam di taman bacaan. Hanya untuk mendampingi dan membiasakan anak-anak kampung membaca buku. Untruk menyelamatkan anak-anak dari pengaruh buruk gawai dan tontonan TV. Melalui akses buku bacaan. Demi secangkir kopi di taman bacaan.

 

Secangkir kopi di taman bacaan. Menjadi saksi pengabdian pegiat literasi dalam menegakkan tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Anak-anak yang membaca bersuara, untuk melatih pemahaman terhadap bacaan. Hingga mempersilakan anak-anak bercerita tentang isi bacaan ke teman di sebelahnya. Sunggu, secangkir kopi di taman bacaan tersajikan penuh cinta.  

 

Sementara di luar sana. Banyak manusia tidak lagi percaya cinta. Katanya, cinta tidak lagi hebat hingga membuatnya tersesat. Cinta telah membuatnya mabuk hingga tertunduk. Katanya cinta itu indah ternyata membuatnya terpapah. Seperti drama secangkir kopi. Selalu terbalut dua kutub, yang kadang ada manis ada pahit. Bisa jadi baik bisa jadi buruk. Kadang senang kadang benci. Hingga ujungnya, selalu berseberangan dan berbenturan.

 

Di media sosial, semua orang beraksi. Untuk popular dan dikenal, entah sebagai apa? Tapi sayangnya, sering hanya berencana tanpa aksi nyata. Hanya bermodalkan niat tanpa eksekusi. Begitu pula di grup WA yang bertabur fitnah dan gibah. Tapi semua dapat dibenarkan karena dianggap sah dan boleh-boleh saja. Kondisi masyarakat yang tidak lagi asyik dan menyenangkan. Karena terlalu jauh dari secangkir kopi di taman bacaan.

Maka demi secangkir kopi di taman bacaan. Saya pun membiarkan mereka menganggap jadi pemenang. Untuk mengabaikan mereka yang jadi pecundang. Karena pada secangkir kopi, selalu Ada goretan pesan. Bahwa cara terbaik merayakan kesepian dan keramaian tetaplah sama. Yaitu, tetap berpijak di bumi dan jangan menganggap lebih tunggal dari Tuhannya.

 

Demi secangkir kopi di taman bacaan. Tetaplah berkiprah dalam sisi yang positif dan bermanfaat untuk sesama, untuk siapa saja. Sambil mengabaikan mereka yang tanpa peduli namun berkomentar sejuta aksi. Pada secangkir kopi di taman bacaan terbukti. Sikap memang lebih penting daripada fakta. Aksi lebih bernilai daripada narasi. Salam literasi #DemiSecangkirKopi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *