Hidup Tidak Diukur dari Status tapi dari Kepedulian

Saat ngobrol bareng kawan kuliah di UNJ di TBM Lentera Pustaka, akhirnya saya dan kawan-kawan sepakat menegaskan bahwa inti dari hidup yang bermakna bukanlah apa yang kita punya, tetapi apa yang kita lakukan untuk orang lain. Apalagi di usia yang tidak lagi muda., fokusnya hanya berbuat baik dan menebar manfaat di mana pun berada. Agar hidup punya makna bila saatnya ditinggalkan.

 

Tentu saja, hidup yang bermakna bukan diukur dari status, kekuasaan, atau materi. Melainkan dari kepedulian terhadap realitas kemanusiaan dan perjuangan hidup untuk berbagi kebaikan kepada sesama manusia. Kata Pramoedya Ananta Toer, kita harus menolak pandangan hidup yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi dan kedudukan, karena hal-hal itu sering menimbulkan ketidakadilan dan korupsi moral. Mentalitas bobrok yang tidak berpihak pada kemanusiaan. Dunia, sejatinya adalah ladanga amal untuk selalu berjuang, ikhtiar baik, dan memperbesar rasa tanggung jawab sosial.

 

Hidup bukan soal status atau pencapaian lahiriah. Status sosial, jabatan, atau banyaknya harta sering dipakai sebagai ukuran kesuksesan. Namun, itu semua tidak otomatis membuat hidup seseorang bermakna, karena sifatnya bisa hilang, berubah, atau tidak berdampak pada siapa pun selain diri sendiri. Karenanya, makna hidup justru lahir dari kepedulian. Ketika kita peka terhadap realitas kemanusiaan, misalnya penderitaan, ketidakadilan, kesenjangan sosial, kita mulai melihat bahwa hidup bukan hanya tentang “aku”, tetapi tentang “kita”.

 

Setiap orang sejatinya sedang berjuang di jalannya masing-masing. Karenanya, kita patut menghargai setiap perjuangan orang lain. Setiap orang membawa beban dan perjuangannya sendiri. Ketika kita memahami dan menghormati itu, kita terhubung secara lebih dalam sebagai sesama manusia.

Aksi nyata seperti menolong, berbagi, mendengarkan, atau memperjuangkan hal yang lebih besar dari diri sendiri membuat hidup kita punya dampak, dan di situlah letak makna hidup yang sebenarnya. Ada kontribusi nyata untuk membuat hidup lebih bernilai. Maka, hidup bermakna bukan diukur dari “apa yang kita dapat”, tetapi dari “apa yang kita berikan” dan bagaimana kita hadir untuk orang lain dalam rasa kemanusiaan yang sama.

 

Jadi, teruslah berjuang untuk kebaikan dan kemanfaatan. Sebab nilai sejati manusia terletak pada kepedulian dan perjuangannya terhadap kemanusiaan, bukan pada jabatan atau harta. Hidup yang benar adalah hidup yang berpihak pada sesama, bukan hidup yang dikuasai ambisi dan kecurangan. Dan ketahuilah, Tuhan tidak pernak menuntut kita untuk sukses. Tapi kita ditintung untuk terus memperbaiki diri dan bermanfaat bagi orang lain. Salam literasi!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *