Kisah Pensiunan Selalu Bingung di Akhir Tahun

Bagi kebanyakan orang, akhir tahun adalah waktunya berkumpul dengan keluarga, merayakan kegembiraan bersama, dan menyusun harapan baru. Selalu ada rencana untuk menikmati pergantian tahun. Namun bagi Pak Darto, akhir tahun selalu datang dengan perasaan yang sama: bingung dan cemas. Tiap tahun berganti, Pak Darto selalu dirundung kebingungan, mau ngapain?

 

Pak Darto pensiun tujuh tahun lalu, setelah tiga puluh dua tahun bekerja sebagai staf di sebuah pabrik. Saat itu, ia merasa cukup percaya diri. Tabungan ada, uang pensiunnya diambil sekaligus, dan rumah sudah lunas. “Harusnya aman,” pikirnya saat pensiun.

 

Di tahun pertama pensiun, Pak Surya menikmati kebebasan. Ia membantu biaya kuliah keponakan, mengganti perabot rumah, dan beberapa kali mudik lebih lama dari biasanya. Uang terasa masih banyak. Ia jarang mencatat pengeluaran. Baginya, hidup tinggal dinikmati. Memang begitu seharusnya di masa pensiun, menikmati hidup.

 

Tapi di tahun ketiga setelah pensiun, akhir tahun mulai terasa berat. Masalah muncul setiap menjelang Desember. Pengeluaran tahunan mulai terasa memberatkan. Mulai bayar pajak rumah, pajak mobil, asuransi kesehatan, dan perbaikan rumah yang tidak terduga. Sementara ia tidak punya gaji lagi. Tidak ada gaji ke-13, tidak ada bonus, dan tidak ada pemasukan tambahan. Pak Darto mulai menghitung sisa saldo dengan dahi berkerut. “Kenapa rasanya setiap akhir tahun selalu kurang?” gumamnya.

 

Tahun kelima: cemas yang berulang selalu menghantui Pak Darto. Setiap tahun polanya sama. Awal tahun terasa ringan. Pertengahan tahun masih bisa bernapas. Menjelang akhir tahun, kecemasan datang. Ia mulai menunda berobat, mengurangi kebutuhan kecil, dan menolak undangan keluarga karena biaya. Bukan karena tidak mau, tapi karena takut uang tidak cukup sampai tahun berikutnya.

 

Suatu sore, Pak Darto duduk bersama teman lamanya. Namanya Pak Rahmat, yang pensiun dengan manfaat dibayar secara bulanan. “Setiap bulan ada uang masuk, walau kecil,” kata Pak Rahmat. “Jadi tiap akhir tahun tidak terlalu menakutkan” sambungnya lagi.

Kalimat itu membuat Pak Darto terdiam lama. Ia sadar, masalahnya bukan sekadar jumlah uang, tetapi ketiadaan aliran dana yang rutin. Setiap tahun ia harus bertahan dari saldo uang pensiun yang terus menipis. Pak Darto sadar betul, mulai ada yang hilang dalam hidupnya. Pemasukan rutin di masa pensiun.

 

Sampailah di tahun kesembilan: menjadi akhir tahun yang sunyi. Kini, setiap Desember, Pak Darto tidak berani merencanakan apa pun, tidak mampu lagi menikmati akhir tahun bersama sana-anaknya. Pikirannya hanya berharap saldo cukup sampai Januari. Kalender akhir tahun bukan lagi penutup, melainkan pengingat bahwa hidup ke depan semakin mahal. Ia sering berkata pelan pada dirinya sendiri, “Seandainya dulu ada penghasilan bulanan di masa pensiun…”

Pak Darto tidak miskin. Ia juga tidak hidup berlebihan. Namun hidup tanpa penghasilan pensiun yang rutin membuatnya selalu waswas, selalu berhitung. Bahkan selalu merasa tidak aman tidak hari tuanya. Dan dari kebingungan yang datang setiap akhir tahun, satu pelajaran muncul “hari tua bukan hanya soal berapa banyak uang yang dimiliki,
tetapi tentang kepastian bahwa hidup tetap bisa berjalan dengan tenang setiap bulan, setiap tahun.

 

Agar suasana akhir tahun tidak terasa datang terlalu cepat akibat tidak punya uang yang cukup di hari tua. Satu hal yang Pak Darto sesali hingga kini, ia tidak punya dana pensiun yang cukup untuk menjaga standar hidupnya di hari tua. Itulah pentingnya punya dana pensiun, agar ada kesinambungan penghasilan di hari tua saat tidak bekerja lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *