Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya naik, Pak Darto sudah duduk di bangku kayu kecil di sudut pasar. Tangannya yang mulai gemetar masih setia menggenggam termos kopi dan beberapa bungkus gorengan buatan istrinya. Dulu, bangku itu selalu ramai, pelanggan datang silih berganti, bercanda sambil menawar harga. Kini, lebih sering sepi.
Pak Darto bukan pensiunan. Ia tidak pernah mengenal kata gaji tetap, apalagi dana pensiun. Sejak muda, hidupnya dihabiskan sebagai pekerja informal: kuli angkut, tukang becak, lalu berjualan gorengan ketika tenaganya tidak lagi kuat mengayuh. Tidak ada seragam, tidak ada kartu pegawai, dan tidak ada surat pengangkatan. Yang ada hanya kerja hari ini untuk makan hari ini. Begitulah hari-hari seorang pekerja informal.
Kini usia Pak Darto sudah melewati enam puluh. Lututnya sering nyeri, matanya tidak setajam dulu, tetapi berhenti bekerja bukan pilihan. Bukan karena ingin, melainkan karena harus. Jika ia tidak datang ke pasar, dapur rumah kontrakannya akan dingin tanpa asap. Seletih apapun, Pak Darto harus tetap mengaiz rezeki di pasar di usia tuanya.
Anak-anaknya sudah berkeluarga. Mereka membantu semampunya, tetapi hidup di kota juga tidak mudah. Pak Darto mengerti itu. Ia tidak ingin menjadi beban, meski tubuhnya sendiri mulai terasa berat dipanggul waktu. Tenaganya mulai menurun, bahkan penglihatannya tidak lagi sejelas dulu.
Di sore hari, ia sering duduk memandangi orang-orang pulang kerja dengan langkah tergesa. Kadang ia bertanya dalam hati, “Apakah hidup selalu harus berakhir seperti ini?” Namun, pertanyaan itu jarang lama tinggal. Ia lebih memilih mensyukuri hari ketika dagangannya habis, atau ketika masih ada yang menyapanya dengan senyum. Sesederhana itulah hidup Pak Darto hari ini, apa adanya saja.


Suatu hari, seorang anak kecil membeli gorengannya dan berkata, “Kakek rajin ya.” Kalimat sederhana itu membuat dada Pak Darto hangat. Ia tersenyum, menyadari bahwa meski hidupnya sederhana dan tanpa jaminan, ia masih berguna. Masih jadi motivasi anak kecil yang selalu melihatnya berdagang di pasar, sangat konsisten menjalani pekerjaannya sebagai pedagang.
Senja datang perlahan. Pak Darto merapikan bangku kayunya. Besok pagi, ia akan kembali. Selama masih bisa berdiri, ia akan terus bekerja. Bukan karena tidak lelah, tetapi karena hidup belum memberinya pilihan lain. Ia tidak punya dana pensiun, ia seorang pekerja informal yang mungkin tidak banyak yang peduli. Bagaimana seharusnya pekerja informal menyiapkan masa pensiunnya sendiri?
—–
Semua orang pasti akan tua, semua pekerja pasti akan pensiun. Sayangnya tidak banyak orang mau menyiapkan masa pensiunnya sendiri. Terpaksa tetap bekerja seperti Pak Darto sekalipun di usia senja. Adalah bukti pensiun itu bukan urusan pegawai kantoran saja. Tapi pekerja informal atau individual pun membutuhkan dana pensiun. Sebab hari tua memang urusan semua orang, akan dialami semua pekerja. Karenanya untuk punya dana pensiun, pekerja informal hanya butuh akses ke mana harus mempersiapkan dana pensiun untuk hari tuanya. Seperti Pak Darto, di usia senjanya masih terduduk di bangku kayu hingga sekarang.











