Literasi Kaum Sarungan

Cuma gara-gara sarung, saya sih nggak masalah dibilang kampungan. Karena sarung hanya simbol doang kok. Agar lebih legowo dan mau menerima realitas apa adanya. Sementara banyak orang sibuk membahas “ijazah palsu”, keracunan di MBG, hingga dokter PPDS. Justru saat sarungan, saya diingatkan untuk tidak mengejar kesempurnaan dalam hal apa pun. Kaum sarungan ya sederhana saja. Tidak mau bertuhan pada kemewahan. Hanya bisa berteman pada kesederhanaan.

 

Saat sarungan, tidak ada lagi orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat atau jabatan. Semuanya sama saja dan setara. Karena sarung tidak pernah membeda-bedakan orang. Apalagi kasta sosial. Kan mottonya, “sarung untuk semua”. Mungkin, bila ada hari ini orang yang mau menahan ego, pasti dia kaum sarungan. Tidak suka asal omong, apalagi celoteh yang tidak ada gunanya. Kaum sarungan selalu percaya. Tidak ada masalah yang kelar, bila modalnya hanya omongan dan celotehan.

 

Di zaman begini. Makin banyak orang sudah tidak suka lagi sarungan. Tida elit, kurang prestise. Memakai sarung tidak keren. Pantas, makin banyak yang sulit menahan diri. Terlalu emosinal dan mudah tersinggung. Gampang iri dan benci ke orang lain. Mentalitasnya jadi “korban”, selalu menyalahkan orang lain. Seolah-olah apa yang terjadi pada dirinya akibat ulah orang lain. Mungkin, karena jarang sarungan ya.

Kata pepatah, “bagai menghasta kain sarung”. Artinya, jauhilah perbuatan yang sia-sia. Tidak usah banyak berbicara bila tidak mampu memilih kata-kata. Cukup kerjakan saja yang baik, tebarkan yang bermanfaat. Kaum sarungan selalu sadar bahwa bahagia itu bukan milik orang-orang yang hebat. Tapi milik orang-orang yang realistis. Sehingga mampu menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur dalam segala keadaan. Kaum yang tidak resah bila ada yang membencinya. Apalagi hanya urusan dunia. Kaum sarungan hanya takut bila dibenci Allah SWT. Karena tidak mau menebar kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain.

 

Mungkin kita sudah lupa. Sarungan itu ada adabnya, ada akhlaknya. Untuk selalu hidup sederhana dan berani menahan ego. Sekaligus menjaga diri dari nafsu dunia. Dan sarung selalu melindungi apapun yang ada di dalamnya; selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Tapi sayang, mulut manusia itu tidak ada sarungnya, jari-jari tangan di medsos pun tidak ada sarungnya. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *