Membaca Lewat Hati, Bukan Hanya Logika

Setiap kita punya impian, punya cita-cita yang didambakan. Bahan sering kali bertekad untuk melebihi apa yang dimiliki orang lain. Karenany, setiap dari kita memeluk harapan yang ingin dicapai. Cita-cita besar dan bila perlu diraih dalam waktu cepat (untuk tidak menyebut instan). Tapi faktanya, hidup sering membawa ke arah berbeda, menghadirkan kenyataan yang tidak selalu seindah rencana. Selalu ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan.  Begitulah adanya.

 

Di momen ketika harapan tidak sama dengan kenyataan, maka di situ kita belajar menerima realitas. Sambil tetap bergerak maju untuk selalu ikhtiar yang baik. Karena harapan bukan untuk ditinggalkan, tetapi untuk diperjuangkan dengan cara yang lebih bijak. Seperti kopi pahit yang memberi rasa tegas di lidah, kenyataan hidup juga menguatkan hati. Terkaddang, dari rasa pahit itulah kita menemukan makna pentingnya perjuangan  dan rasa syukur.

Seperti anak-anak yang membaca di TBM Lentera Pustaka. Ketika akses baca tersedia, mereka berjuang untuk selalu melangkahkan kaki ke taman bacaan. Mengambil satu buah buku lalu duduk membacanya. Sambil berharap, masa depannya menjadi lebih baik dari sekarang. Bagi mereka, membaca buku bukan untuk pintar tapi untuk membangun harapan. Menemukan optimisme, bukan pesimisme. Tetap membaca sekalipun mereka tidak tahu, akan seperti apa di masa depan?

Membaca untuk pengetahuan itu penting. Sebab pengetahuan tidak hanya tentang apa yang kita ketahui. Tapi juga tentang siapa kita dan bagaimana kita melihat dunia? Pengetahuan menjadi sebuah proses yang dinamis dan terus berkembang, bukan hanya sebuah koleksi informasi yang statis. Lebih baik tahu walau diam, daripada tidak tahu tapi banyak bicara.

 

Harus diakui, kita seringkali terjebak dalam mencari pengetahuan sebagai sesuatu yang eksternal, tanpa menyadari bahwa perubahan dalam diri kita sendiri adalah kunci untuk memahami dunia dengan lebih baik. Karenanya, sangat penting menjadikan pengetahuan sebagai kesadaran. Bukan untuk menjadikan siri sebagai orang yang “sok tahu”. Maka pengetahuan harus lewat hati, bukan semata-mata logika. Salam literasi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *