Porsi Peserta Dana Pesangon di DPLK Capai 31%, Inilah Tantangannya

Pesangon adalah sejumlah uang yang diberikan perusahaan kepada pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), baik karena pensiun, efisiensi perusahaan atau meninggal dunia. Selain menjadi hak pekerja, pesangon merupakan kewajiban dan tanggung jawab perusahaan kepada pekerja yang sudah berhenti dari pekerjaannya selama jangka waktu tertentu. Aturan pembayaran pesangon tegas diatut dalam UU No. 6/2023 tentang P2SK dan  PP No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pesangon sering disebut “kompensasi pascakerja” sebagai bentuk imbalan atau dana yang diberikan perusahaan kepada pekerja setelah hubungan kerja berakhir.

 

Selain memberi gaji, perusahaan di Indonesia memiliki kewajiban untuk membayarkan pesangon atau kompensasi pascakerja. Karena sesuai UU No. 6/2023  dan PP No. 35/2021 dinyatakan “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima” (Pasal 40, ayat 1). Uang pesangon wajib dibayar perusahaan bila terjadi pemutusan hubungan kerja. Adapun komponen uang pesangon yang dibayarkan saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun, mencakup Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH), dengan formula yang berbeda-beda tergantung masa kerja dan alasan berhenti bekerjanya.

 

Faktanya, tidak semua perusahaan mampu membayar uang pesangon pekerja saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Kasus Sritex atau Gunung Agung misalnya, yang hingga kini “nasib” uang pesangon pekerjanya tidak jelas sekalipun sudah di PHK.  Karena itu, perusahaan memang perlu mendanakan uang pesangon dengan cara “didanakan” atau “dicicil” untuk membayar manfaat pensiun atau uang pesangon pada saat diperlukan nantinya. Salah satu caranya, dengan menjadi peserta Dana Kompensasi Pascakerja (DKPk) yang ada di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) sebagai pengelola program pensiun sesuai regulasi yang berlaku. Melalui program “dana pesangon” atau DKPk, perusahaan menyetor iuran secara berkala yang diperuntukkan pembayaran pesangon pekerja. Karena itu, dana pesangon di DPLK iurannya dibayar daru “uang perusahaan” dan menjadi “hak pekerja” akibat berakhirnya hubungan kerja, baik karena pensiun, efisiensi perusahaan atau meninggal dunia.

 

Saat ini program dana pesangon atau dana kompensasi pascakerja di DPLK diikuti oleh 1,2 juta pekerja dari total 4,1 juta peserta DPLK, atau mencapai 31% dari total peserta DPK. Aset dana pesangon di DPLK sekitar Rp. 45,6 trilyun dari total AUM DPLK sebesar Rp. 150,6 tilyun atau mencapai 30% dari AUM DPLK. Tingkat pertumbuhan dana pesangon dalam 5 tahun terakhir di DPLK rata-rata 11% per tahun. Lumayan sih.

 

Sesuai dengan hasil Task Force Pengelolaan Dana Pesangon oleh DPLK yang dilakukan OJK (2025), diperoleh karakter dan tantangan dana pesangon yang dikelola DPLK adalah sebagai berikut:

  1. Pengelolaan dana pesangon – DKPk berdasarkan “Perjanjian Kerja Sama” antara Pemberi Kerja dan DPLK.
  2. Tidak terdapat persyaratan penyampaian PKB/Peraturan Perusahaan pada saat Pemberi Kerja mendaftar sebagai peserta pengelolaan Dana Pesangon (Tafsir: kondisi ini memungkinkan terjadi multitafsir di kalangan pekerja, apabila program tidak tercantum di PKB/PP, sehingga dana pesangon DPLK dianggap “on top” uang pesangon).
  3. Pengenaan pajak untuk pembayaran Dana Pesangon bervariasi (Tafsir: perlu dibedakan dana pesangon yang dibayar sebagai “manfaat pensiun” akibat tercapainya usia pensiun atau sebagai “manfaat lain” akibat PHK misalnya).
  4. Pembayaran Dana Pesangon umumnya dilakukan berdasarkan perintah pemberi kerja dengan jumlah yang ditentukan oleh pemberi kerja (Tafsir: tanpa diketahui sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan atau rujukan lainnya, mungkin perlu perhitungan yang jelas agar tidak menimbulkan tafsir yang berbeda).
  5. Pembayaran iuran untuk pendanaan Dana Pesangon sesuai dengan permintaan kerja.
  6. Umumnya telah dilakukan pemisahan antara Manfaat Pensiun dan Dana Pesangon.
  7. Daftar Peserta yang disampaikan ke DPLK umumnya tidak dilakukan update secara berkala (Tafsir: perlu dilakukan update berkala menyangkut “daftar peserta” yang berhak menerima manfaat pembayaran).
  8. DPLK tidak melakukan perhitungan atas kewajiban pesangon dari peserta (Tafsir: kondisi ini bisa menjadi multitafsir tentang sesuai atau tidaknya dengan regulasi ketenagakerjaan atau sekadar “asal bayar” saja).
  9. Terdapat DPLK yang melakukan pembayaran Dana Pesangon yang tidak dikaitkan dengan usia pensiun (Tafsir: kondisi ini memiliki implikasi terhadap perpajakan dan pencatatan).
  10. Mayoritas pemberi kerja tidak menyampaikan informasi kepada DPLK mengenai besar gaji karyawan yang akan menjadi dasar perhitungan pesangon karyawan (Tafsir: sebagai bagian mitigasi risiko, memang ada baiknya diinformasikan besaran gaji dan masa kerja secara update sebagai dasar perhitungan pesangon).

 

Sejauh pengamatan dalam 10 tahun terakhir (sejak dana pesangon disediakan DPLK pada tahun 2014, dulu bernama PPUKP), porsi AUM dana pesangon di DPLK konstan berada di 30% atau tergolong “stagnan”. Karena itu, perlu ada upaya optimalisasi untuk meningkatkan porsi dana pesangon di DPLK. Mengingat masih besarnya potensi dana pesangon di DPLK, baik dari sisi peserta maupun AUM, yang diperkirakan bisa mencapai Rp. 150 trilyun khusus untuk potensi dana pesangon.

 

Bahkan lebih dari itu, regulasi yang mewajibkan perusahaan atau pemberi kerja membayar uang pesangon pun harus terus disosialisasikan sebagai again pemenuhan atas ketentuan ketenagakerjaan pada saat berakhirnya hubungan kerja. Sebab sesuai PP No. 35/2021 ditegaskan 1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja,Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 40), 2) Pengusaha yang mengikutsertakan Pekerja/Buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, iuran yang dibayar oleh Pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Pengusaha atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah akibat Pemutusan Hubungan Kerja (pasal 58), dan 3) Pengusaha pada usaha mikro dan usaha kecil wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan/atau uang pisah bagi Pekerja/Buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan besaran ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha pada usaha mikro dan usaha kecil dengan Pekerja/Buruh (pasal 59).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *