Sehebat Apapun Kamu, Tetap Saja Makhluk yang Bergantung

Hari gini, masih ada yang belum percaya. Sehebat apapun kamu, tetap saja makhluk yang bergantung kepada orang lain. Lahir ditolong, hidup saling membutuhkan, dan mati pun masih perlu bantuan orang lain. Maka rendahkanlah hati seperti tanah yang diinjak, karena dari sanalah kita berasal dan ke sanalah kita akan dikembalikan.

 

Sehebat apapun manusia, kita tetap makhluk yang bergantung. Ini bukan cuma soal percaya secara intelektual, tapi menerjemahkan ke tindakan sehari-hari, kebiasaan, dan sistem hidup. Selalu bersikap rendah hati, sebagai kesadaran atas keterbatasan diri. Landasan mental  untuk selalu belajar terus-menerus. Kita bisa begini, tentu ada orang yang berjasa. Kenapa susah mengakui jasa orang lain?

 

Coba saja, tuliskan tiga hal dalam hidup kita yang akhirnya berjalan akibat bantuan orang lain. Tanpa bantuannya, kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Hanya makhluk yang tidak berdaya dan sulit untuk bisa tumbuh tanpa campur tangan orang lain, apalagi Tuhan. Sayangnya, masih banyak orang yang sulit mengakui. Seolah-olah apa yang diraihnya hanya sebab kerja keras atau perjuangannya sendiri.

.

Pengakuan atas ketergantungan itu dimensi spiritual sekaligus mentalitas. Sebab dalam hidup selalu ada hal-hal di luar kendali kita, maka di situ Tuhan menurunkan tangan orang lain untuk memberikan solusi, walau sekadar saran atau pendapat. Maka akui keterbatasan kita sebagai manusia, pelihara hubungan yang saling menunjang. Agar ketergantungan atau “bergantung” jadi kekuatan, bukan aib karena menghasilkan ketahanan, kualitas, dan hubungan yang lebih sehat.

 

Sehebat apapun kamu, tetap saja makhluk yang bergantung kepada orang lain. Seperti kopi yang tidak pernah sombong, pahit apa adanya, justru karena pada pahitnya kopi semakin kuat rasanya. Begitu pula kita, tidak ada yang perlu disombongkan di dunia ini, karena saat kita meninggal dunia pun kita masih butuh orang lain untuk menguburkannya. Salam literasi!

Exit mobile version