Siapa yang patut disalahkan? Semut yang menjemput rezekinya lalu terjatuh atau aku yang lalai menutup kopi hingga ia tenggelam? Kalimat itu terkesann puitis dan reflektif, untuk mengingatkan tentang tanggung jawab, kesalahan, dan sudut pandang moral.
Ketika semut datang untuk mengambil remah gula atau aroma kopi, itulah naluri alami untuk mencari makan. Tapi karena cangkir kopi dibiarkan terbuka, semut itu akhirnya jatuh dan mati tenggelam. Lalu, siapa yang bersalah dalam sebuah peristiwa kecil tapi tragis?
Bisa jadi semut yang salah, karena “terlalu berani” mencari rezekinya di tempat berbahaya? Bia pula manusia yang salah, karena lalai menjaga agar tidak ada makhluk lain celaka oleh perbuatannya? Sebuah renungan tentang tanggung jawab, sikap empati, dan ujian. Terkadang rezeki datang bersamaan dengan ujian.

Di kehidupan nyata, terkadang kita sering menyalahkan pihak yang kecil atau lemah atas nasib buruk yang dialaminya (ibarat “semutnya yang salah”). Padahal, bisa saja ada kelalaian dari pihak yang lebih berkuasa (iabarat “aku yang tidak menutup kopi”). Maka patut disadar, selalu ada dan terjadi batas antara kesalahan dan konsekuensi, antara niat baik dan akibat yang tidak disengaja. Selalu ada konsekuensi dari setiap perbutan, selalu risiko di jalan apapaun.
Jadi, siapa yang patut disalahkan. Semut yang menjemput rezekinya lalu terjatuh atau aku yang lalai menutup kopi hingga ia tenggelam…? Pada akhirnya, bukan mencari siapa yang salah. Tapi patut menjadi renungan. Terkadang rezeki datang bersamaan dengan ujian. Yang berusaha tidak selalu selamat dan yang lalai pun bisa tanpa sadar menjadi sebab bahaya terjadi. Hidup memang sering setipis itu antara niat baik dan akibat yang tidak disengaja. Berhati-hatilah dalam hidup, apapun ada konsekuensinya. Salam literasi!











