Harus diakui, tradisi membaca buku saat ini sudah banyak ditinggalkan orang. Kalah dibandingkan bermedia sosial atau bergawai ria. Banyak yang sadar membaca itu penting. Tapi sayangnya tidak banyak yang mau melakukannya. Katanya membaca sebagai langkah awal untuk memperluas cakrawala dan memahami dunia. Tapi faktanya, tradisi membaca sudah semakin berat dilakukan di zaman serba digital begini. Membaca jadi kian tertinggalkan.
Kemarin kawan saya bilang. Membaca itu penting untuk mengubah masa depan. Untuk melahirkan ide-ide brilian untuk kehidupan yang lebih baik di hari esok. Bahkan membaca bisa jadi modal untuk meraih kesuksesan hidup, menggapai kecerdasan logika, hingga berpikir jadi lebih kritis. Asal bisa memahami makna dari setiap bacaan. Membaca memang sangat ideal untuk masa depan. Begitulah kata kaum cendekiawan, walau kaum awam tidak tahu apa relevansinya hidup dengan membaca?
Membaca bak “jauh panggang dari api”. Membaca, antara harapan dan kenyataan kian membuka “jarak” yang semakin jauh. Maka terlepas dari untuk apa dan mau bagaimana dengan membaca? TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor justru hanya focus menghidupkan aktivitas membaca di akar rumput. Membumikan tradisi membaca secara rutin, minimal 3 kali seminggu untuk anak-anak usia sekolah. Saat ini, tidak kurang ari 200-an anak usia sekolah yang berasal dari 4 desa di Kec. Tamansari Kab. Bogor berhimpun dalam naungan taman bacaan. Tujuannya sederhana, membiasakan anak-anak membaca buku.
Hanya untuk tradisi membaca. Anak-anak sepulang sekolah, melangkahkan kaki, diantar naik motor ibunya, atau bahkan naik angkot menuju ke taman bacaan. Selama 1 – 2 jam berkutat dengan buku bacaan, bergonta-ganti buku bacaan bial sudah tuntas satu buku dibaca. Sebagai sinyal, bahwa masih ada anak-anakyang membaca buku secara massal. Masih ada tradisi membaca yang terjaga. Membiasakan anak-anak dekat dengan buku, itulah yang dijalankan TBM Lentera Pustaka hingga 8 tahun belakangan ini.
Tradisi membaca itu ada, sebagai bukti tersedianya akses bacaan di masyarakat. Ada tempat membaca yang dituju anak-anak di kampung. Membaca secara konkret di akar rumput. Membaca yang bukan mempersoalkan minat baca. Tapi ketersediaan tempat untuk membaca, di mana dan kapan waktunya? Membaca sebagai tradisi, membaca sebagai peradaban. Tanpa peduli nantinya anak-anak mau jadi apa? Sukses atau tidak, cerdas atau tidak. Ikhtiarnya hanya mengajak baca.
Membangun tradisi membaca. Karena hari ini banyak orang teriak literasi, literasi, dan literasi. Tapi perilaku konkret untuk menghidupkan tradisi membaca tidak banyak dijalankan. Bisa jadi, seminar dan diskusi literasi malah lebih banyak daripada aktivitas membaca itu sendiri. Maka taman bacaan, tetap memilih jalan untuk menghidupkan tradisi membaca di akar rumput. Mengurus dan mengelola aktivitas kegemaran membaca sesuai jadwal dan melayani anak-anak yang membaca sepenuh hati.
Tradisi membaca, sejatinya bukan hanya soal banyaknya buku yang dikonsumsi. Tapi soal komitmen dan konsistensi memelihara aktivitas membaca secara konkret. Membaca sambil melafalkan teks dalam bacaan, membaca sebagai gerakan moral untuk membangun peradaban. Tradisi membaca, adalah satu-satunya tolok ukur bangsa Indonesia bisa menjadi literat atau tidak? Karena tanpa membaca, tidak akan pernah ada bahasan tentang literasi. #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen