Antre Cari Buku, Sebuah Kenikmatan Membaca Tanpa Akhir di Taman Bacaan

Sudah pasti, otak manusia tidak tahan terhadap rasa ingin tahu. Akal manusia selalu mencari tahu. Begitu ada pertanyaan menggantung di kepalanya, maka otak berusaha keras untuk menemukan jawabannya. Karena ingin tahu, itulah kenapa strategi pertama adalah memancing rasa penasaran otak sebelum mulai membaca. Ingin tahu yang membuat orang mau belajar.

 

Sebagian besar orang hanya ingin tahu dari membaca. Maka untuk mau membaca, perlu menyajikan banyak pertanyaan. Sebagai tanda kita sebagai mausia banyak tidak tahunya, bukan justru merasa tahu segalanya atau sok tahu. Membaca dimulai dari rasa ingin tahu, bukan perintah apalagi  imbauan semata.

 

Menjawab rasa ingin tahu, itulah cara sederhana untuk memulai membaca. Seperti yang terjadi pada puluhan anak-anak TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Minimal seminggu 3 kali anak-anak usia sekolah dari 4 desa secara rutin membaca buku. Meluangkan waktu khusus untuk membaca, bukan karena ada event atau CSR. Membaca yang kini sudah jadi kebiasaan, membaca sebagai sbuah tradisi. Anak-anak yang tidak langsung membuka buku, tapi bertanya dalam hati yang menantang otaknya, seperti: “Kenapa candi Borobudur bisa terjadi?”, atau “Bagaimana bila matahari tidak bersinar?”. Atau “Bagaimana bila sang proklamator tidak menyebut Merdeka?” Pertanyaan-pertanyaan yang harus dicari jawabannya di buku. Maka bertanya adalah bahan bakar alami bagi motivasi anak untuk membaca.

Anak-anak yang terbiasa membaca di TBM Lentera Pustaka, datang sebelum jam baca tiba, memberi salam, antre mencari buku yang akan dibacanya, duduk manis sambil memegang buku, lalu membaca buku sepenuh hati. Kurang lebih 1,5–2 jam untuk membaca. Dan saat selesai meminta kartu baca untuk di paraf oleh wali baca. Membaca di taman bacaan, seperti kenikmatan tanpa akhir bagi anak-anak. Membaca sebagai pengalaman nyata.

 

Membaca atau belajar di mana pun, bukanlah kewajiban apalagi jadi sebab otak tertekan. Karena tugas otak “harus” menolak semua kewajiban atau tekanan. Karena itu, bully atau perundungan di sekolah atau di kampus dilarang. Jadilanlah membaca atau belajar sebagai sistem reward otak dan rasa ingin tahu yang menyalakannya. Jadi, jika kita ingin otak ketagihan membaca, berhentilah memaksa diri untuk “membaca karena ingin pintar” atau biar doibilang “kutu buku”. Membacalah karena kita penasaran akan dunia. Membaca karena ingin mencari jawaban dari rasa tidak tahu. Karena membaca harus asyik dan menyenangkan dalam mencari tahu. Membaca tidak akan berhenti meski jam baca sudah berakhir. Bila sudah waktunya tiba, anak-anak berangkatd an melangkah ke taman bacaan. Begitu yang terjadi di TBM Lentera Pustaka.

Membaca bukan sekadar kegiatan belajar; ia adalah latihan mental, spiritual, dan emosional yang mengubah cara anak-anak melihat dunia. Ketika kita tahu bagaimana bekerja sama dengan otak, bukan melawannya, membaca akan menjadi kebiasaan alami, bukan beban. Maka kuncinya bukan di kuantitas waktu membaca, tapi di kualitas pengalaman membaca itu sendiri. Seberapa sering anak-anak punya pengalaman membaca? Saat otak menemukan makna, rasa ingin tahu, dan penghargaan dalam setiap prosesnya, membaca akan terus mencari pengalaman itu lagi dan lagi.

 

Berhentilah berperang dengan rasa malas. Berhentilah bersikap merasa paling tahu.  Mulailah menata ulang cara memperlakukan otak dengan tantangan, rasa penasaran, dan rasa iingin tahu. Saat kondisi itu terjadi, kita tidak lagi perlu motivasi eksternal. Karena otak kita sudah menemukan satu hal yang tidak bisa dilepaskannya: kenikmatan membaca tanpa akhir. Sehingga membaca tidak lagi perlu dipaksa, ia tumbuh dengan sendirinya dari dalam diri si anak. Salam literasi!

Exit mobile version