Harvard Business Review meneliti dan merilis bahwa nilai akademik memang berhubungan dengan kedisiplinan dan ketekunan, tapi tidak selalu sejalan dengan keterampilan sosial, kreativitas, atau daya tahan menghadapi kegagalan seseorang. Justru, faktor non-akademik itulah yang menentukan sukses seseorang dalam jangka panjang.
Di zaman begini, di sekolah dan kehidupan sehari-hari, banyak anak yang cerdas secara intelektual tapi gagal secara emosional atau mentalitas. Kasus bully yang menyebabkan kematian siswa SMPN 19 Tangsel dan ledakan di SMAN 72 Jakarta, jadi bukti anak-anak yang gagal secara emosial dan sosial. Di sekitar kita, ada siswa nilai akademiknya luar biasa , nilai-nya 90 ke atas tapi bingung mengambil keputusan sederhana ketika sudah lulus. Jadi pendidikan anak, bukan cuam soal akademik tapi harus menekankan karakter, emosional, dan sosial.
Kita sering lupa nilai akademik tidak mengukur sisi emosional, sosial, bahkan kreativitas anak. Anak yang kreatif sering dianggap menyimpang dari aturan sekolah. Sebaliknya anak pintar yang pendiam justru dipuji-puji hingga mampu melukai orang lain. Karakter, emosi dan kreativitas seharusnya jadi modal utama anak untuk beradaptasi di dunia yang terus berubah. Sayangnya, soal karakter dan kreativitas anak tidak masuk ke dalam penilaian rapor. Sesederhana itulah realitas pendidikan kita.
Siswa yang sering bertanya selalu dianggap bawel, padahal bisa jadi dia calon pemimpin masa depan. Siswa yang suka menggambar di pinggir bukunya dianggap tidak fokus. Padahal, besok dia bisa menjadi desainer atau arsitek yang karyanya diakui dunia. Nilai akademiknya mungkin biasa-biasa saja, tetapi pikiran out of the box dan imajinasinya luar biasa. Guru dan orang tua terlalu terpaku pada angka di rapor, sehingga gagal melihat potensi anak. Karaketr anak itu lebih dari sekadar angka di rapor. Dan keativitas justru lahir dari berani untuk berbeda, bukan dari kepatuhan secara akademik semata.
Besok-besok, kecerdasan emosional dan kreativitas sangat menentukan di dunia kerja. kecerdasan emosional anak jauh lebih berpengaruh pada kesuksesan kerja dibandingkan IQ semata. Kemampuan sosial lebih hebat daripada sekadar kognitif anak. Sebab anak yang pandai berempati, berkomunikasi, dan mengendalikan diri cenderung lebih mampu membangun relasi dan menghadapi tekanan sesulit apapun.
Dua anak yang lulus dari kuliah, dengan nilai sama bisa memiliki karier yang berbeda jauh. Yang satu bisa cepat naik jabatan karena pandai bekerja sama dengan tim, sementara yang lain tersendat karena mudah tersinggung dan tidak bisa beradaptasi di kantornya. Sekolahnya sama tapi hasilnya berbeda, bukan karena faktor akademik semata. Tapi karena karakter, emosi, kerativitas dan kemampuan sosial.
Itulah kenapa pendidikan nonformal seperti taman bacaan masyarakat jadi penting untuk memperkuat karakter, emosi, dan kreativitas anak sekaligus kemampuan sosialnya. Seperti di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor yang selalu mengajak anak untuk memiliki adab dan karakter-emosi yang lebih kokoh ketimbang nilai rapor. Bergaul dan berinteraksi, melatih antre, bersikap saling menghargai, dan berkerasi untuk memacu kreativitas. Semuanya untuk memperkokoh karakter dan kreativitas anak. Agar punya skill sosial yang cukup di masa depan.
Sebab di sekolah, jarang memberi ruang besar untuk mengembangkan keterampilan emosional dan kreativitas anak. Semuanya tergantungp pada kurikulum yang ketat. Padahal, di luar kelas, justru kemampuan emosi dan kreativitas inilah yang menjadi kunci bertahan untuk hidup dan tetap bertumbuh di segala keadaan. Salam literasi!
