Catatan Kritis Literasi: Ketika Taman Bacaan Sekadar Plang Nama

Semua orang bisa mendirikan taman bacaan. Semua orang bisa mengaku pegiat literasi. Apapun dalihnya, gimana pun caranya. Tapi tidak semua orang yang ada di taman bacaan benar-benar bisa mengelola taman bacaan. Banyak yang hanya label atau plang nama TBM terpampang tapi aktivitas dan programnya tidak ada. Tidak ada komitmen, tidak punya konsistensi dalam berkegiatam Inilah fakta pahit yang jarang mau diakui pengelola taman bacaan. Sebagian besar kegagalan taman bacaan bukan karena bukunya terbatas atau strateginya buruk. Tapi tidak ada komitmen dan konsistensi dalam “menghidupkan” taman bacaannya. Menariknya, survei Tata Kelola TBM yang dilakukan TBM Lentera Pustaka (2022) menyebut 90% taman bacaan di Indonesia melayani tidak lebih dari 60 anak yang membaca. Angka ini membuka ruang tanya yang lebih dalam tentang untuk apa taman bacaan ada dan mau bagaimana ke depannya?

 

Dalam keseharian, kita bisa mengecek. Jam berapa dan hari apa taman bacaan beroperasi? Dari jam berapa sampai jam berapa taman bacaan buka? Kapan pendiri atau relawan selalu ada di taman bacaan? Masih banyak lagi pertanyaaan yang bisa diajukan kepada taman bacaan? Ada pegiat taman bacaan sering hadir di seminar tapi taman bacaannya tidak dikelola. Ada pula yang rajin diskusi taman bacaan tapi realitas di akar rumput tidak terlaksana. Ada yang punya komitmen tapi tidak konsisten. Fenomena ini muncul hampir di banyak taman bacaan, dari taman bacaan di kota besar hingga ke pelosok. Masalahnya bukan pada kurangnya teori dan narasi taman bacaan.  Tapi pada tidak adanya komitmen dan konsistensi sepenuh hati dalam “menggerakkan” taman bacaan agar punya dampat dan manfaat kepada masyarakat. Tidak sedikit taman bacaan hari ini terjebak pada formalitas nama dan pengakuan di luar. Sayangnya, kiprah dan kontribusi di akar rumput diabaikan. TBM atau taman bacaan, sering dinarasikan “besar” tapi esensinya tetap “kecil”.

 

Atas sebab sosial dan sukarela, taman bacaan sering didirikan tanpa visi dan misi yang jelas. Hanya sekadar spirit dan gerakan bersama tentang literasi dan kegemaran membaca. Faktanya, kita sering tidak tahu. Taman bacaannya mau di bawa ke mana? Hampir tidak punya arah, sehingga tidak tahu program dan aktivitas apa yang dijalankan di taman bacaan? Dalam kondisi seperti ini, taman bacaan semakin “hidup segan mati tak mau”. Sebuah pertanyaan kritis, apa begitu literasi dan taman bacaan bergerak?

Tidak ada visi dan misi yang jelas di taman bacaan. Lemahnya komitmen dan konsistensi pengelola taman bacaan menjadi realitas yang sulit dibantah. Akhirnya, taman bacaannya ada tapi tidak berkembang. Dari tahun ke tahun, begitu-begitu saja atau begini-begini saja. Mungkin pula, tidak ada tujuan jangka panjang tidak punya rencana 5 atau 10 tahun mendatang. Sehingga pengelola taman bacaan pun tidak punya semangat dan motivasi untuk meningkatkan dampak dan kinerja taman bacaannya sendiri. Bila begitu, maka taman bacaan hanya sekadar “nama” bukan “masa depan”. Buku bacaan sekadar narasi bukan esensi.

 

Jelas, taman bacaan bukan sekadar predikat melainkan soal kapasitas membangun peradaban melalui buku bacaan. Bukan lagi soal status sosial tapi membangun raung bersama untuk tumbuh. Membangun optimism bukan melulu soal pesimisme. Banyak taman bacaan gagal bukan karena kurang ilmu tapi karena tidak siap memikul tanggung jawab di taman bacaan atas komitmen dan konsistensi. Inilah sebuah renungan bersama tentang gerakan literasi dan taman bacaan di Indonesia.

 

Exit mobile version