Ini sekadar sharing, setelah 8 tahun menjalani kiprah di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Ternyata, nikmatnya berjuang di taman bacaan itu harus punya “bekas luka”. Tentang pengalaman nyata yang menyakitkan, bahkan memilukan di taman bacaan. Penderitaan berjuang di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai bagian proses membentuk sikap spartan dan jiwa yang kuat. Sebab “bekas luka” menjadikan TBM tetap bertahan, tetap eksis untuk melayani masyarakat lebih baik dan lebih baik lagi.
Berkiprah di taman bacaan “tanpa luka” pasti nggak akan banyak cerita. Mungkin, daya juang dan survivor-nya pun belum teruji. Hanya “bekas luka” yang menjadi tanda bahwa TBM itu pernah terluka, telah berjuang, dan kini tetap bertahan. “Bekas luka” di TBM bisa dimaknai sebagai penerimaan dan pembelajaran dari pengalaman hidup yang sulit. Masa-masa sulit mendirikan TBM, susahnya mengajak anak-anak ke TBM, pusing cari dana operasional itulah “bekas luka”. Ketika berhasil melewati penderitaan, jiwanya menjadi lebih kuat, lebih paham, dan lebih bijak. Sebab, kekuatan apapun dan di mana pun tidak pernah datang tanpa jejak, akan selalu ada “bekas luka” yang menjadi tanda.
Seperti “bekas luka” yang dialami TBM Lentera Pustaka pada tahun 2017. Bangunan dan tempat baca bekas garasi mobil yang sederhana, hanya 12 anak yang mau bergabung di TBM, koleksi cuma 600 buku, tanpa punya relawan dan hanya ada 2 wali baca. Mengajak relasi untuk donasi CSR untuk dana operasional, sediakan wifi dan honor wali baca. Di awal berdiri, hampir setiap hari telepon, WA atau kirim email untuk cari dukungan ke TBM.
“Bekas luka” kian terasa saat saya mendirikan taman bacaan ada warga yang menyebarkan isi pendiri TBM Lentera Pustaka beraliran sesat (agama), orang tua yang datang ke TBM lalu menyuruh anaknya pulang – tidak boleh baca di TBM, hingga tidak percaya TBM itu gratis. Didatangi preman yang minta uang, dimusuhi, bahkan disangka pedofilia. Itu semua bagian cerita dari “bekas luka” di TBM Lentera Pustaka yang sudah saya tuangkan ke buku “100 Kisah Di Langit Taman Bacaan” tahun 2022 terbitan Endnote Press, ISBN 978-623-99780-5-1.
Nikmatnya berkiprah di taman bacaan itu karena punya “bekas luka. Sebagai tanda kekuatan dan ketahanan seperti orang yang patah hati, yang bisa jadi pelajaran berharga. Bekas luka juga bukti penerimaan diri dan kesabaran atas kiprah sosial di taman bacaan. Bekas luka adalah pengingat akan pengalaman masa lalu untuk memperbaiki diri sekaligus menghargai diri sendiri. Belajar dari kesalahan untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Dan yang penting, “bekas luka” itu bukan untuk mengenang yang menyakitkan tapi untuk menyehatkan pikiran dan mental saat berjuang di taman bacaan.
Kata Khalil Gibran, penderitaan itu menghasilkan jiwa yang kuat tapi harus ditandai oleh “bekas luka”. Bekas luka bukanlah aib, melainkan bukti kehidupan yang telah dijalani dengan penuh keberanian. Kekuatan sejati itu lahir bukan dari hidup yang mudah, tapi dari luka yang diterima dengan sabar dan penuh pengertian. Karena yang menjadikan manusia mau terus berjuang dan punya karakter tangguh adalah bekas luka. Luka-luka itulah yang membuat kita semakin punya komitmen, konsistensi, dan empati untuk orang lain.
Maka kumpulkan pengalaman “bekas luka” di taman bacaan. Karena luka adalah sumber energi untuk tetap bertahan dan mengatasi tantangan taman bacaan dan literasi yang menghadang. Sebab dalam hidup, hanya luka yang bisa membuat seseorang lebih kuat dan lebih bijaksana. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi