Peran Taman Bacaan, Membiasakan Anak Belajar dari Proses Bukan Tekanan

Apa yang terjadi di SMAN 72 Jakarta, mungkin bisa jadi bukti anak belajar dari tekana bukan proses. Tekanan justru menjadikan anak cenderung emosional, agresif, dan membenarkan pikirannya sendiri. Bahkan bertindak melebihi kapasitasnya sebagai anak. Karena itu, siapapun harus menekankan “anak belajar dari proses, bukan tekanan”.

 

Orang tua sering kali memerintah anak untuk berfokus pada hasil. “Dapat nilai 100!” menjadi lebih penting daripada “belajar memahami pelajaran.” Ketika anak hanya mengejar hasil, ia kehilangan kesempatan menikmati proses belajar itu sendiri. Akibatnya, belajar terasa menakutkan, bukan lagi menyenangkan. Menyuruh anak punya hasil belajar tertentu membuatnya jadi tertekan. Manifestasinya, anak jadi cemas, frustrasi, atau kewalahan, yang dapat mengarah pada stres dan berdampak negatif pada mental si anak.

 

Kita sering mengira bahwa anak akan menjadi disiplin jika diperintah tegas. Padahal, semakin sering diperintah, semakin kecil rasa ingin tahunya. Bahkan semakin tertekan psikologisnya. Sebuah penelitian dari University of Rochester menemukan bahwa anak yang diberi otonomi dan rasa percaya diri memiliki motivasi intrinsik tiga kali lebih tinggi dibanding anak yang sering diperintah. Maka artinya, dorongan internal jauh lebih kuat daripada tekanan eksternal. Anak membutuhkan sikap demokratis dan ruang kreativitas daripada sekadar perintah atau hasil.

 

Praktik sehari-hari, banyak orang tua yang tanpa sadar menjadikan perintah sebagai cara utama mendidik anak. “Kerjakan PR sekarang!”, “Jangan main melulu!”, “Awas kalua tidak nurut!”. Kalimat-kalimat seperti itu menciptakan kepatuhan instan, tetapi membunuh rasa percaya diri anak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Anak tumbuh menjadi pelaksana, bukan pemikir. Sementara dunia masa depan justru menuntut kemampuan berpikir mandiri dan rasa tanggung jawab, bukan hanya kemampuan patuh pada perintah.

 

Adalah lebih baik mendidik anak dengan dorongan, bukan perintah. Sebab dorongan melahirkan rasa mampu, sedangkan perintah melahirkan ketakutan. Anak yang didorong untuk mencoba akan merasa bahwa dirinya mampu. Ketika orang tua berkata, “Kamu bisa menyelesaikannya dengan caramu sendiri,” anak belajar bahwa ia punya kendali atas tindakannya. Sebaliknya, perintah menciptakan ketakutan untuk gagal. Setiap keputusan terasa berisiko, setiap kesalahan dianggap dosa. Maka, motivasi pun lahir bukan dari rasa ingin tahu, melainkan dari ketakutan untuk dimarahi.Kita sering lupa, rasa percaya diri anak itu datang dari lingkungan yang mendorong, bukan memerintah. Di sinilah peran orang tua menjadi krusial: bukan sebagai komandan, melainkan sebagai fasilitator pertumbuhan mental anak.

Membiasakan anak belajar dari proses, bukan tekanan. Itulah salah satu misi yang dijalankan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salah Bogor. Untuk mengubah cara mendidik anak berdasar dorongan, bukan perintah. Memberi ruang anak untuk tumbuh dan lebih kreatif daripada sekadar mengejar hasil. Membaca buku tidak perlu ditarget selesai sekian hari tapi mengutamakan proses membacanya. Membaca bukan soal minat tapi soal akses. Anak-anak TBM Lentera Pustaka cukup membaca 30 menit sampai dengan 1 jam. Selebihnya ngobrol bareng, bermain atau berkreasi di taman bacaan. Karena orientasinya, anak belajar dari proses, bukan dari tekanan.

 

Dengan berkata, “Coba baca pelan-pelan, bila ada yang tidak paham bisa ditanyakan,” adalah cara mengajak anak mencintai proses. Bila anak salah, tidak masalah. Karena kesalahan adalah bagian dari belajar, bukan tanda kelemahan. Proses belajar harus mampu menciptakan kebiasaan reflektif, keterampilan yang jauh lebih berharga daripada sekadar mendapat hasil ujian yang baik. Salam literasi!

 

Exit mobile version