5 Sebab Pekerja Gagal Mempertahankan Standar Hidup di Masa Pensiun

Saat ini Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) aktual yang diterima pekerja setelah tidak bekerja lagi hanya 10% dari gaji terakhir. Bila gaji terakhir saat bekerja Rp. 10 juta maka di masa pensiun hanya memiliki dana Rp. 1 juta per bulan. Maka konsekuensinya, terjadi penurunan penghasilan sebesar 90% dari gaji terakhir. Sungguh sangat memprihatinkan.

 

Sementara hasil penelitian terbaru menyebut kebutuhan biaya hidup bulanan seorang pensiunan di Jakarta mencapai 56% dari gaji terakhir. Kebutuhan hidup di hari tua mencakup untuk biaya makan seharo-hari, belanja bulanan, biaya air – listrik, internet, gaya hidup, asuransi kesehatan, dan lain-lain. Maka secara aktual, tingkat penghasilan pensiun (TPP) pensiunan di Indonesia terjadi kesenjangan sebesar Rp4.600.000,- (bila bergaji tterakhir Rp. 10 juta) atau kekurangan 46% dari gaji terakhir per bulan. Kondisi inilah yang menjadi “biang kerok” penyebab pensiunan gagal mempertahankan standar hidup di hari tua, di samping mengalami masalah keuangan di masa pensiun atau bergantung kepada anaknya di hari tua.

 

Lalu, apa penyebab pensiunan gagal mempertahankan standar hidup di hari tua dan “terpaksa” bergantung bergantung kepada anaknya di hari tua? Setidaknya ada 5 (lima) penyebab pensiunan gagal mempertahankan standar hidup di hari tua sekaligus mencermeinkan rendahnya kesiapan pensiun pekerja di Indonesia adalah:

  1. Faktanya 90% pekerja atau masyarakat Indonesia tidak memiliki perencanaan pensiun yang memadai. Banyak individu yang masih mengandalkan anak atau keluarga sebagai penopang finansial di masa tua. Mayoritas pekerja di Indonesia memang tidak siap pensiun.
  2. Tidak punya tabungan pensiun. Hanya sekitar 10% pekerja di Indonesia yang memiliki tabungan pensiun secara pribadi. Sebagian besar gaji atau penghasilan bulanan dihabiskan untuk konsumsi dan cicilan, sehingga dana pensiun sering kali diabaikan.
  3. Tingkat literasi keuangan yang rendah. Akibat kurangnya kesadaran akan pentingnya perencanaan pensiun, terbukti dengan tingkat inklusi dana pensiun yang hanya 5% dari total pekerja sektor formal (belum termasuk pekerja informal).
  4. Inflasi dan biaya hidup. Banyak pensiunan tidak menyadari bahwa biaya hidup pascapensiun sering kali lebih tinggi dari yang diperkirakan akibat inflasi ditambah kenaikan biaya kesehatan.
  5. Terjadinya kesenjangan tingkat penghasilan pensiun (TPP). TPP aktual hanya 10% dari gaji terakhir, jauh di bawah rekomendasi ILO yang 40% dari gaji terakhir atau rata-rata negara OECD yang 60% bahkan standar ideal sebesar 70%-80% dari gaji terakhir.

 

Mau tidak mau, untuk meningkatkan tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement rate, produk keuangan seperti dana pensiun memiliki peran penting. Melalui dana pensiun, seorang pekerja akan memiliki sumber penghasilan yang stabil di masa pensiun, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup dan menjaga standar hidup di hari tua. Maka perlu upaya optimalisasi peran dana pensiun, khususnya dana pensiun swasta (DPPK/DPLK) untuk meningkatkan literasi dan edukasi keuangan tentang dana pensiun.  Karena itu, dana pensiun perlu meningkatkan edukasi publik yang masif – berkelanjutan dan tersdianya akses digital untuk memfasilitas kepemilikann dana pensiun bagi pekerja formal maupun informal. Lebih lanjut terkait upaya meningkatkan TPP di hari tua dapat disimak melalui penelitian Syarifudin Yunus berjudul “Analisis Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) Pekerja dan Faktor yang Mempengaruhinya Serta Optimalisasi Peran Dana Pensiun Swasta di Indonesia” yang terbit di Jurnal Lokawati pada Mei 2025 –https://journal.arimbi.or.id/index.php/Lokawati/article/view/1709.

 

Dana pensiun sangat penting untuk menjaga kesinambungan penghasilan di masa pensiun, saat tidak bekerja lagi. Bagaimana Menurut Anda? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM

 

Exit mobile version