Kasus gerai roti yang menolak seorang ibu membeli dengan uang tunai (cash) lagi viral. Mungkin ini penting untuk semua merchant, pedagang atau gerai yang menerapkan pembayaran nontunai, entah itu QRIS (Quick Response Code Indonesian Standar) atu debit ATM. Aneh memang, sekarang ini banyak gerai atau merchant yang “fanatik” dengan QRIS atau debit ATM dan tidak membolehkan orang bayar secara tunai (cash). Kok bisa, praktiknya jadi begitu ya?
Harus tegas dikatakan, bahwa “cashless itu bukan untuk semua orang, jangan tolak uang tunai rupiah!”. Ini soal inklusivitas alat bayar, soal kedaulatan rupiah, dan realitas sosial di Indonesia. Tolong dipahami, tidak semua orang siap digital. QRIS atau cashless itu syaratnya harus punya smartphone, ada akses internet, punya atm, dan orangnya paham. Tapi faktanya saat ini, banyak warga khususnya lansia, masyarakat pedesaan, pekerja sektor informal, dan kelompok rentan pasti belum paham atau tidak bisa mengakses alat bayar digital. Karenanya, mereka pasti masih membayar secara tunai, dengan uang yang ada di dompetnya. Sekali lagi, jangan tolak bayar tunai apalagi bagi warga yang tidak punya QRIS atau ATM.
Jadi konkret saja, uang rupiah di mana pun wajib diterima. Di arab saja, uang rupiah diterima kok di negara sendiri ditolak. Aneh memang bangsa ini. Tolong regulator seperti Bank Indonesia sampaikan alat bayar itu uang rupiah, boleh secara fisik (tunai) atau digital (QRIS atau ATM). Sejelek-jeleknya uang rupiah, berapapun nilainya, itu mata uang negara dan alat kedaulatan negara. Bila menolak uang tunai rupiah, berarti melanggar aturan negara dan wajibn dikenakan sanksi. Apalagi di negara Indonesia yang luas kayak begini, sudah pasti banyak orang yang tidak punya QRIS atau ATM. Terima dong, uang rupiah secara tunai! Kan mereka juga hidup di negara kita, paham?
Merchant atau gerai apapun harus paham. Uang tunai itu alat inklusi. Bisa digunakan siapa saja, tidak butuh perangkat, dan tidak tergantung sinyal atau Listrik. Menolak uang tunai berarti menutup akses ekonomi bagi sebagian warga. Itu sama sekali dilarang dan jangan anggap urusan sepele. Rupiah dalam bentuk tunai itu bukti negara ini ada. Uang tunai rupiah itu jadi simbol kedaulatan negara, alat pembayaran sah, dan dijamin oleh negara. Maka menolak rupiah dalam bentuk tunai berarti mengabaikan hak warga negara.
Ingat ya, cara bayar apapun itu ada dua: 1) nontunai atau 2) tunai. Saya sendiri sebenarnya tergolong ‘”senang secara tunai” karena bisa membantu mengontrol belanja atau pengeluaran. Tapi sayang, faktanya secara banyak merchant – gerai justru “memaksa” nontunai. Lupa ya, justru cashless (QRIS – debit) itu bisa memicu pengeluaran yang impulsif. Banyak orag jadi konsumtif dan hedon, tidak bisa mengontrol “keluar masuknya uang”
Maka cashless seharusnya hanya pilihan, bukan paksaan. Uang tunai dan non-tunai harus berjalan berdampingan. Harus memberi kenyamanan pada konsumen, tidak boleh menyingkirkan hak dasar setiap orang untuk membeli dan membayar. Karenanya, kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan keadilan akses keuangan. Cashless adalah bagian solusi alat bayar, bukan kewajiban. Rupiah secara tunai adalah hak warga negara. Karenanya, cashless itu bukan untuk semua orang. Jangan tolak uang tunai rupiah, paham??
