Cukup mengenaskan sih ya, ternyata saat ini, lebih dari 80% sumber pendapatan lansia (pensiunan) di Indonesia berasal dari anggota keluarga yang masih aktif bekerja. Berarti, para pensiunan bergantung secara finansial dari anak-anaknya atau keluarga. (berita: sini: https://www.cnbcindonesia.com/market/20251023124051-17-678569/miris-80-lansia-ri-bergantung-pada-generasi-sandwich). Itulah yang disebut sandwich generation, seorang pekerja yang harus menanggung beban ekonomi dari “atas-samping-bawah” selama bekerja.
Data ini sangat miris, karena lebih besar dari Survei ADB (2024) yangmenyebut 1 dari 2 lansia di Indonesia mengandalkan biaya hidupnya dari anak-anaknya setiap bulan. Maka wajar, banyak pensiunan atau lansia pada akhirnya mengalami masalah finansial di hari tua, saat tidak bekerja lagi. Apakah kita yang masih bekerja akan mengulang hal yang sama di masa pensiiun?
Jadi, apa sih penyebab banyak lansia bergantung secara ekonomi pada anak di masa tuanya? Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa disajikan, sebab lansia bergantung pada anak di hari tuanya, antara lain:
- Tidak adanya persiapan finansial sejak dini. Banyak orang tidak menyiapkan program pensiun atau investasi jangka panjang ketika masih bekerja. Dalihnya, gaji pas-pasan atau merasa pensiun masih lama. Akibatnya, ketika tidak lagi bekerja, sumber penghasilan berhenti total — dan satu-satunya “jaring pengaman” adalah anak.
- Minimnya akses ke program pensiun formal. Sebagian besar pekerja di Indonesia adalah pekerja informal (pedagang, petani, sopir, pekerja harian) yang tidak punya akses ke program pensiun (seperti DPLK). Akibatnya, tdiak punya tabungan pensiun dan berserah kepada anak-anaknya.
- Nilai budaya dan norma sosial yang menganggap “anak sebagai tabungan masa tua”. Anak dianggap investasi, bukan amanah. Akibatnya, anak dianggap “wajib” membalas budi orang tua. Bila anaknya mampu tidak masalah tapi bila tidak mampu maka jadi masalah. Banyak orang tua tidak merasa perlu menyiapkan kemandirian finansial di masa tua.
- Biaya hidup dan inflasi yang meningkat. Lansia kini menghadapi biaya hidup dan kesehatan yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Tabungan yang dulu dianggap cukup, bisa habis lebih cepat karena inflasi dan biaya pengobatan.
- Kurangnya literasi keuangan dan perencanaan pensiun. Banyak orang tidak memahami pentingnya memulai dana pensiun sejak muda. Istilah seperti “compound interest”, “alokasi aset”, atau “dana pensiun lembaga keuangan (DPLK)” masih dianggap hal eksklusif atau rumit. Edukasi dan akses ke dana pensiun memang harus mudah, apapun alasannya.
Harus diakui, ketergantungan ekonomi lansia pada anak bukan hanya karena malas menabung. Tapi kombinasi antara faktor budaya, ekonomi, dan sistemik. Maka solusinya perlu kolaborasi apik dan konkret antara pemerintah, dana pensiun, pemebri kerja, dan individu untuk melakukan edukasi yang berkelanjutan dan kemudahan akses dana pensiun. Agar siapapun dapat menjadi standar hidup di hari tua tanpa bergantung kepada anak-anaknya.
Ke depan, populasi lansia atau pensiuan di Indonesia akan terus meningkat signifikan. Maka beban ekonomi yang harus ditanggung oleh generasi produktif semakin bertambah atau semakin berat. Karenanya, program pensiun seperti DPLK sangat diperlukan untuk persiapan hari tua, perenacaan masa pensiun. Untuk mengurangi beban generasi sandwich yang membiayai pendidikan anaknya, menanggung kesehatan orang tuanya, sekaligus untuk dirinya sendiri membangun masa depannya.
Sudahkah kita punya dana pensiun? Salam sehat selalu dan selamat bekerja #EdukasiDanaPensiun #EdukasiDPLK #DPKSAM
