Menyimak tayangan salah satu televisi swasta yang berjudul “Pajak Uang Pensiun Membebani Masa Tua Pekerja” (7/12/2025), menarik untuk dicermati. Mungkin tayangan itu, ada kaitannya dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah beberapa kali menolak gugatan uji materiil terhadap aturan pajak pesangon dan pensiun. Update terbaru pada November 2025, dengan alasan permohonan tidak jelas (kabur/obscuur) dan tidak cermat secara formil, yang menegaskan bahwa pemajakan pesangon dan pensiun, meskipun dipersoalkan karena dianggap mengurangi manfaat jaminan sosial, saat ini masih dianggap konstitusional dan sesuai dengan prinsip perpajakan, karena merupakan penghasilan baru yang dikenakan pajak sekali saat diterima.
Patut diketahui, uang pesangon – pensiun itu “bukan uang pekerja” melainkan uang perusahaan (atau pemberi kerja). Pekerja hanya berhak atas “uang pesangon-pensiun) sebab asal uangnya dari perusahaan. Karena sesuai UU No. 6/2023 tentang Perppu Cipta Kerja yang dipertegas dalam PP No. 35/202I tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Pemutusan Hubungan Kerja dinyatakan “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima” (Pasal 40, ayat 1). Artinya, uang pesangon wajib dibayar perusahaan bila terjadi pemutusan hubungan kerja, baik atas alasan PHK atau pensiun. Adapun komponen uang pesangon yang dibayarkan saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun, mencakup Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH), dengan formula yang berbeda-beda tergantung masa kerja dan alasan berhenti bekerjanya karena apa (ada aturannya)?
Lalu, bagaimana cara pembayaran uang pesangon – pensiun dan pajaknya? Patut dipahami, aturan mainnya adalah sesuai dengan PP No. 68 Tahun 2009 Tentang TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS. Ditegaskan dalam aturan tersebut pada:
Pasal 4
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
- sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
- sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
- sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
- sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
- sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
- sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Mengacu pada aturan di atas, maka dapat dimaknakan bila “uang pesangon” (atas sebab PHK atau pensiun), bila dibayarkan melalui “kantong perusahaan” maka penerapan tarif pajaknya bersifat “progresif” dari 5% hingga 25%. Akan tetapi, bila uang pesangon berupa manfaat pensiun, tabungan hari tua, atau jaminan hari tua yang “didanakan” melalui lembaga program pensiun sesuai ketentuan pemerintah, maka tarif pajaknya bersifat “final”, dari 0% hingga 5%.
Jadi, penerapan tarif pajak atas uang pesangon – pensiun berlaku akibat “dari kantong mana dikeluarkan”. Bila dari kantong perusahaan, maka terkena pajak progresif. Tapi bila dari lembaga seperti dana pensiun atau BPJS TK maka tarif pajaknya final 5%.
Kenapa begitu? Karena sesuai regulasi yang berlaku, memang program pensiun berhak mendapat insentif perpajakan. UU No. 4/2023 tentang P2SK Pasal 171 menyebut penyelenggaraan program pensiun oleh dana pensiun dapat diberikan perlakuan atau insentif perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dan Pasal 307 menyatakan “insentif pajak dapat diberikan kepada jasa keuangan tertentu, termasuk untuk mendukung program pensiun guna mendorong akumulasi sumber pembiayaan jangka panjang”.
Lebih dari itu, UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah mengatur “iuran” pensiun yang dapat dibebankan sebagai biaya, baik oleh perusahaan maupun pekerja. Artinya menjadi variabel “pengurang pajak”. Bahkan lebih dari itu, hasil investasi dana pensiun, dikecualikan dari objek PPh (Pasal 4 ayat (3) huruf g & h UU PPh). Jadi, insentif perpajakan sudah ada dan akan terus ada sejauh “sistem pendanaan” uang pesangon-pensiun dilakukan melalui mekanisme dana pensiun sesuai regulasi yang berlaku. Akan tetapi, bila perusahaan tidak mendanakan uang pesangon – pensiun melalui mekanisme dana pensiun maka tarif pajaknya menjadi “progresif”. Kira-kira begitu.
Jadi, tarif pajak untuk uang pesangon – pensiun sama sekali tidak menjadi beban pekerja, justru beban perusahaan. Masalahnya, perusahaan mau atau tidak untuk “mencicil – mendanakan” uang pesangon – pensiun pekerja yang suatu waktu pasti dibayarkan melalui mekanisme pendanaan di dana pensiun sesuai regulasi yang berlaku. Bila melalui dana pensiun maka berhak mendapat insntif pajak, bila tidak melalui dana pensiun maka diterapkan pajak progresif (yang kesannya jadi beban pekerja).
Satu hal yang patut dipahami bersama, bahwa pajak atas pesangon dan pensiun bukan merupakan pajak berganda dan bersifat final. Hanya saja tarif dan tata caranya berbeda, melalui mekanisme dana pensiun atau tidak. Intinya, pajak uang pesangon – pensiun hanya terjadi saat uang tersebut dibayarkan.
Justru yang harus dibangun atas kesadaran bersama, adalah mendorong mekanime uang pesangon – pensiun melalui sistem pendanaan di dana pensiun. Sebab dengan begitu, uang pesangon – pensiun pasti ada, bisa memperoleh hasil investasi yang optimal, dan berhak mendapat insentif pajak. Sekaligus untuk mendukung program pensiun guna mendorong akumulasi sumber pembiayaan jangka panjang.
Karenanya, sangat bagus bila perusahaan dan pekerja sama-sama mau mendanakan uang pesnagn – pensiun seusai porsinya di dana pensiun, jangan “dibayar” dari kantong perusahaan karena tidak ada insentif pajaknya. Salam #YukSiapkanPensiun
